Bisnis.com, JAKARTA— Sektor komoditas bergairah setelah China menggelontorkan stimulusnya, sementara itu mata uang dan bursa Asia belum merasakan dampaknya hingga perdagangan siang ini.
Seperti apa stimulus China tersebut?
Analis Strategydesk, Divisi Riset Soegee Futures dalam risetnya yang diterima hari ini, Senin (20/4/2015), mengemukakan Bank Sentral China memangkas Giro Wajib Minimum (GWM) untuk kedua kalinya tahun ini, untuk menggairahkan ekonomi yang mencatat pertumbuhan terendah dalam enam tahun.
People’s Bank of China (PBOC) menurunkan rasio kecukupan modal perbankan sebesar 1% menjadi 18,5%. Ini merupakan pemangkasan terbesar sejak 2008.
Pertanda bank sentral meningkatkan upaya mengatasi perlambatan ekonomi. Keputusan ini menyusul pernyataan sang gubernur Zhou Xiaochuan bahwa pihaknya masih ada ruang untuk bertindak.
Langkah tersebut, yang memberi ruang agar perbankan bisa menggenjot kredit, melepas likuiditas hingga 1,2 triliun yuan. Keputusan ini juga menempatkan China bersama 30 negara dunia lainnya yang melakukan pelonggaran kebijakan moneter di tengah perlambatan ekonomi dan inflasi rendah.
Data terbaru menunjukkan PDB tumbuh 7% selama kuartal pertama, melambat dari kuartal keempat tahun lalu yang 7,4% dan terendah sejak 2009. Meski angka pertumbuhan itu sesuai prediksi pasar, data-data lainnya menimbulkan kekhawatiran, seperti penjualan ritel, output industri dan investasi.
Menurut beberapa ekonom, tulis Analis Strategydesk, pemangkasan yang lebih besar dari perkiraan ini mengikuti pola global dalam kampanye pelonggaran moneter untuk mengatasi pertumbuhan rendah dan disinflasi.
Dalam catatannya, tambah riset itu, ANZ menyebutkan pemangkasan tersebut dilakukan karena otoritas frustasi dengan tingginya bunga korporat, PBOC khawatir dengan dengan prospek pertumbuhan dan inflasi ke depan.
Tapi sebagian ekonomi lain memandang langkah ini bersifat defensif, karena lebih berperan untuk menutupi derasnya arus dana ke luar yang menggerus likuditas, mempersulit upaya menekan tingkat suku bunga.