Bisnis.com, JAKARTA- Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia meminta pembebasan bea masuk barang pendukung kegiatan hulu minyak dan gas untuk memaksimalkan kawasan berikat di Indonesia sebagai tempat penyimpanan peralatan pendukung sektor itu yang selama ini terpusat di Singapura.
Pengoptimalan kawasan berikat sebagai tempat penyimpanan peralatan pendukung eksplorasi dan ekspolitasi minyak dan gas diyakini bisa memberikan multiplier effect bagi Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan investasi kegiatan hulu migas di Indonesia pada 2013 tercatat sebesar US$19,34 miliar di mana US$6,47 miliar digunakan untuk pembelian impor barang dan peralatan pendukung lainnya.
“Pada 2014, investasi migas meningkat US$25,64 miliar di mana untuk impor barang dan peralatan pendukung sebesar US$8,6 miliar,” terangnya Minggu (12/4).
Menurutnya, Singapura dijadikan lokasi tujuan penyimpanan barang hasil pengadaan untuk menunjang kegiatan hulu migas di Indonesia karena negara itu menerapkan fasilitas pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor atau duty delivery unpaid (DDU).
Dia melanjutkan, dengan asumsi 75% penimbunan barang dilakukan di Singapura dari nilai belanja US$8,6 miliar dan biaya penumpukkan dan pengelolaan logistik rerata 10% maka pada 2014, negeri itu meraup Rp7 triliun hingga Rp8 triliun sepanjang 2014.
“Selain itu ada efek positif lainnya seperti pengelolaan dan perbaikan barang serta bahan tertentu. Indonesia harusnya bisa memperoleh itu,” terangnya.
Dari sisi infrastruktur penyimpanan, menurutnya, di Indonesia terdapat banyak kawasan berikat. Tiga kawasan berikat yang strategis untuk menunjang kegiatan ini, menurutnya adalah Balikpapan, Batam, serta Surabaya atau Gresik.
“Batam untuk cover kegiatan migas di Sumatra. Balikpapan di Indonesia Timur dan Surabaya untuk kegiatan migas di Bali-Nusa Tenggara,” jelasnya lebih lanjut.
Dari sisi perangkat aturan pun, menurutnya, kawasan berikat cocok dijadikan tempat penyimpanan peralatan penunjang kegiatan hulu migas karena tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan No.143/PMK/2011 tentang gudang berikat yang bisa digunakan untuk mendukung kegiatan usaha perminyakan.
Akan tetapi, lanjutnya, berbagai strategi yang coba ditawarkan itu tidak akan berhasil jika pemerintah tidak memberikan fasilitas fiskal impor barang pendukung perminyakan meski sudah ada fasilitas penangguhan bea masuk dan pajak.
“Ada penangguhan, tapi begitu barang digunakan dan dikeluarkan dari gudang berikat, tetap akan terutang PPN atas penyerahan barang di dalam daerah pabean,” bebernya.
Permasalahan lain, terangnya, kegiatan kalibrasi, perbaikan dan perawatan dari berbagai peralatan penunjang di sektor hulu migas itu juga tetap dilakukan di luar negeri karena diberikan fasilitas DDU.
Di Indonesia, kegiatan itu tidak diperkenankan tapi tetap dikenakan penyerahan di dalam daerah pabean.