Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

YLKI: Pengaduan Kasus Hunian Vertikal Terus Meningkat

Kasus pengaduan properti ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada 2014 menempati peringkat kedua setelah perbankan. Lebih spesifik, sejak 2014 pengaduan mengenai hunian vertikal naik 50%.
Apartemen Kalibata City/kalibatacity.com
Apartemen Kalibata City/kalibatacity.com

Bisnis.com, JAKARTA— Kasus pengaduan properti ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada 2014 menempati peringkat kedua setelah perbankan. Lebih spesifik, sejak 2014 pengaduan mengenai hunian vertikal naik 50%.

Berdasarkan data YLKI  yang diterima Bisnis, pada 2013 menerima 121 pelaporan, dengan komposisi hunian vertikal dan horizontal masing-masing 29 dan 92. Tahun berikutnya, total pengaduan meningkat 157 kasus, dimana pengaduan hunian vertikal naik menjadi 67 kasus, dan pengaduan perihal rumah tapak turun sedikit menjadi 90 kasus.

Periode Januari – Maret 2015, pelaporan hunian vertikal sementara 24 kasus, berbanding tipis dengan rumah tapak sebanyak 23 kasus.

Ketua YLKI Sudaryatmo menuturkan oleh lembaganya, pelaporan perihal hunian dibagi dalam empat tahap besar. Pertama, problem konsumen terkait iklan, promosi, dan pameran. Kedua, keluhan konsumen perihal transaksi, seperti AJB (Akta Jual Beli) dan PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli). Ketiga, pengaduan karena masalah konstruksi yang biasanya berimplikasi pada delay on delivery (keterlambatan serah terima). Keempat, masalah kepenghunian.

“Dari keempat tahapi itu, problem terbesar ada di tahap penghunian, terutama pada hunian vertikal seperti rumah susun dan apartemen,” ujarnya pada Bisnis akhir pekan lalu.

Menurut Sudaryatmo masalah kepenghunian di rusun bisa dipecah lagi menjadi menjadi beberapa sub kasus. Biasanya, konsumen mengadukan perihal pembentukan pengelola Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun atau biasa disebut P3SRS.

Kemudian, pengaduan mengenai pemanfaatan bagian bersama, misalnya function room atau ruang serbaguna. Pemanfaatan fasilitas ini selalu menimbulkan tarik menarik antara penghuni dengan P3SRS selaku Badan Pengelola.

P3SRS atau Badan Pengelola selalu memfungsikan tempat tersebut sebagai komersial area. Sementara penghuni menginginkan ruang serbaguna digunakan untuk acara-acara internal.

Pengaduan selanjutnya adalah penentuan besaran tagihan IPL, listrik, dan air. Pengelola, lanjut Sudaryatmo, mendapatkan listrik dari PLN secara curah, dan mendistribusikannya kepada penghuni dengan harga yang berbeda.

“Ini memang mestinya ada aturan berapa margin yang diperbolehkan Badan Pengelola mengambil untung atau dia hanya boleh full cost recovery . Karena ada selisih jumlah tagihan yang dibayar Badan Pengelola ke PLN dengan setoran penghuni ke Badan Pengelola,” tandasnya.

Masalah kepenghunian lainnya ialah transparansi pertanggungjawaban P3SRS.Beberapa pemilik apartemen mengeluhkan transparansi dan akuntabilitas P3SRS, seperti kesulitan mendapatkan laporan keuangan. Atau meskipun mendapat laporan keuangan, tetapi data tersebut terlampau sederhana dan tidak diaudit.

Ada pula pelaporan mengenai kepengurusan P3SRS yang tidak melibatkan semua penghuni, sehingga pembentukannya tidak partisipatif.

“Karena itu pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Perumahan harus hadir memastikan pembentukan lembaga independen yang terdiri dari para pemilik dan penghuni berjalan secara demokratis,” tuturnya.

Memang, sambung Sudaryatmo, bila mengacu pada UU no. 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun, pembentukan P3SRS difasilitasi pengembang. Rumusan ini kemudian menjadi masalah karena pengembang juga memiliki unit. Karena pengembang masih punya unit, dia cenderung mendudukkan orangorang sebagai pengurus. Dalam pandangan lembaga konsumen, hal ini harus dikontrol oleh pemerintah, dalam hal ini dinas perumahan.

Bila meninjau kembali empat tahapan pengaduan properti,  intervensi pemerintah paling banyak pada tahap konstruksi.

“Sedangkan pada tahap iklan dan promosi, transaksi, dan kepenghunian, peran negara cukup dingin,” ujarnya.  

 Di Malaysia, sambung Sudaryatmo, ada peraturan ketat terkait iklan dan promosi, sehingga apa yang dijanjikan sesuai denga kenyataan pembangunan.

Sementara itu, pada tahap transaksi sumber masalah ialah dokumen-dokumen dalam pembelian apartemen yang dinilai YLKI sebagai unfair contractual term. Artinya, isi kontrak tidak menerapkan prinsip keadilan, karena dibuat sepihak oleh pengembang.

Sudaryatmo pun memandang pertumbuhan jumlah hunian vertikal tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas aparat Pemda.

Tren Permasalahan Pengaduan Perumahan Tiga Tahun Terakhir

Kategori                               2013       2014       2015       Tren

Hunian Vertikal                    29            67           24            naik

Hunian Horizontal               92           90           23           stagnan

TOTAL                                  121         157         47

 

Sumber: Bagian Pengaduan dan Hukum YLKI


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hafiyyan
Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper