Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Revisi PP Gambut Bisa Selamatkan Industri Unggulan Riau

Pakar ekologi dari Universitas Riau, Suwondo menilai pemerintah harus segera merevisi PP tentang gambut dengan memperhatikan batasan aturan ketinggian muka air, yang kini menjadi salah satu permasalahan karena diprotes oleh kalangan pengusaha.
foto: antara
foto: antara

Bisnis.com, PEKANBARU--Pakar ekologi dari Universitas Riau, Suwondo menilai pemerintah harus segera merevisi PP tentang gambut dengan memperhatikan batasan aturan ketinggian muka air, yang kini menjadi salah satu permasalahan karena diprotes oleh kalangan pengusaha.

Dia menilai revisi PP Gambut itu diperlukan untuk menyelamatkan industri unggulan Riau yaitu industri kehutanan dan industri sawit yang selama ini menjadi salah satu penopang ekonomi nasional.

"Dalam pengelolaan lingkungan di lahan gambut, harus perhatikan tata air. Sebelum PP gambut keluar, ada namanya Permentan No.14/2009. Disitu jelas diatur kedalaman air 0,6 sampai 0,8 meter, sementara dalam PP Gambut dinaikan 0,4 meter, sehingga menjadi ramai," papar pakar ekologi Universitas Riau, Dr Suwondo MSi di Pekanbaru, seperti dikutip Antara (30/3).

Menurut dia, Permentan No.14/2009 sudah mengatur muka air gambut yang minimal 0,6 meter untuk kelapa sawit, dan 0,8 meter bagi hutan tanaman industri (HTI). Dia mengatakan aturan itu merupakan solusi sebagai acuan dari revisi PP tentang gambut.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya sebelumnya mengatakan, pemerintah perhatikan kepentingan pelaku usaha karena direvisi peraturan turunan dari Undang-undang No.31/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yakni PP No.71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Suwondo mengatakan  pemerintah terutama Kementerian LHK saat ini sedang mencari konsep yang tepat terkait revisi PP Gambut. Bila perlu kembali ke kosep Permentan No.14/2009 karena hasil yang diharapkan hampir sama, bahkan dalam permetan itu lebih teknis diatur mengenai gambut.

Kejadian tebakarnya lahan terutama di Provinsi Riau dalam 17 tahun terakhir karena lahan gambut dilanda kekeringan pada musim kemarau dan kebanjiran di musim hujan yang disebabkan kemapuan atau fungsi gambut dalam mengikat air menjadi hilang.

"Kalau kami memandang Permentan itu masih sesuai terutama aturan teknisnya sudah baik dan menjadi solusi dari revisi yang dilakukan. Sebab, pemerintah tidak boleh jika gambut itu dibiarkan atau tidak diatur. Bila diatur ketat, maka bahaya juga bagi gambut kita," jelasnya.    

Dia menjelaskan, PP Gambut dikeluarkan memiliki kesan hanya mengutamakan kepentingan lingkungan dan abaikan kepentingan ekonomi serta kepentingan sosial, padahal dalam UU No.31/2009 harus mengutamakan ketiga kepentingan tersebut dan pembangunan dilakukan adalah pembangunan berkelajutan.

"Jadi, jangan dilihat dalam konteks kebakaran hutan dan lahan atau sisi ekologi atau lingkungan saja. Pembangunan berkelanjutan tidak boleh melupakan tiga pilar yakni linkungan, ekonomi dan sosial. Jadi tiga-tiganya harus bersahabat dan jangan saling menjatuhkan," tegasnya.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengelola Hutan Indonesia (APHI) bidang Hutan Tanaman Industri Nana Suparna mengatakan ada beragam kerugian yang terjadi bila PP 71/2014 dipaksakan untuk diberlakukan.

"Dari segi ekonomi, negara berpotensi kehilangan investasi dari sektor industri kehutanan yang mencapai nilai Rp103 triliun," katanya, di Pekanbaru.

Nana hadir di Pekanbaru sebagai salah satu pemateri dalam seminar bertema "Gambut: Pengelolaan dan Penerapan Berkelanjutan Demi Kemakmuran Bangsa" yang dibuka oleh Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hadi Daryanto Hadi Daryanto dan para pemangku kepentingan seperti akademisi dan perwakilan pelaku usaha kelapa sawit serta HTI.

Nana mengatakan salah satu aturan yang akan mematikan industri kehutanan adalah batasan minimal tinggi muka air gambut mencapai 40 cm. Aturan ini akan menghambat pelaku industri dalam menanam komoditas seperti kelapa sawit dan pohon akasia.

Kondisi ini mengakibatkan perusahaan yang telah lebih dulu memegang izin untuk mengelola hutan, akan tutup dan tidak lagi beroperasi. Bila ini terjadi, sekitar 300.000 tenaga kerja yang bekerja di sektor kehutanan akan kehilangan mata pencaharian.

Dampak lain yang timbul menurut Nana, yaitu hilangnya potensi pemasukan devisa senilai US$5,6 miliar setiap tahunnya dari ekspor komoditas kehutanan.

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : News Editor
Sumber : Antara

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper