Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Lembaga Adat Melayu Nilai PP Gambut Diboncengi Asing

Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau menilai terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No.71 tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem Gambut pada akhir massa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono demi melindungi politik dagang asing terutama minyak sawit mentah (CPO) serta industri pulp dan kertas.
Ilustrasi/Antara
Ilustrasi/Antara

Bisnis.com, PEKANBARU--Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau menilai terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No.71 tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem Gambut pada akhir massa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono demi melindungi politik dagang asing terutama minyak sawit mentah (CPO) serta industri pulp dan kertas.

"Dalam industri internasional yang bermain adalah politik dagang. Nama boleh bermacam-macam atau topiknya boleh berbagai rupa, tapi inti dari semua itu ialah untuk kepentingan politik dagang," papar Ketua Majelis Kerapatan Adat LAM Riau, Tenas Effendy di Pekanbaru dikutip Antara, Senin (09/2).

Dia menyarankan, pemerintah sebaiknya melakukan kajian secara mendalam sebelum pelaksanaan PP Gambut tersebut karena yang merupakan produk hukum turunan dari Undang-undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Riau yang mempunyai lahan gambut cukup luas sangat bergantung dari industri pengelolaan lahan gambut. Jika aturan tersebut ditetapkan ekonomi Riau dikhawatirkan terganggu.

Menurut data Dinas Kehutanan Provinsi Riau, dari total luas daratan di daerah itu berjumlah sekitar 8,9 juta hektare, sekitar 60% atau 5,34 juta hektare berupa tanah dengan kontur lahan gambut dan sebagian besar diantaranya sudah dimanfaatkan untuk budi daya oleh masyarakat tempatan dan dunia usaha.

Seperti diketahui, sekitar 1 juta hektare lahan gambut yang berada di Provinsi Riau telah dimanfaatkan menjadi hutan tanaman industri, lalu sekitar 0,8 juta hektare untuk tanaman kelapa sawit, kemudian sekitar 0,5 juta hektare lahan pertanian dan perkebunan lainnya.

"Daerah di Indonesia punya keunggulan tersendiri, maka kita kembalikan azas masing-masing. Sepanjang itu membawa manfaat masyarakat, silakan manfaatkan semua. Tapi kalau merusak, tunggu dulu. Evaluasi secara menyeluruh dan berulang-ulang baik dari segi politik, ekonomi, sosial dan lain-lain," tegasnya.

Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya akhir 2014 mengatakan, pemerintah akan memperhatikan kepentingan pelaku usaha terutama melakukan revisi peraturan turunan Undang-undang No.31/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Terdapat dua poin aturan bakal diubah yakni ketentuan mengenai muka air lahan gambut. Saat ini, muka air gambut ditetapkan minimal 40 centimeter dan poin kedua mengenai ketentuan pemanfaatan lahan gambut sebagai area komersial, asalkan memenuhi syarat lingkungan.

Meski tengah dikaji, Siti optimistis implementasi tetap dilakukan sesuai tenggat waktu yaitu Mei 2015. "Kami sedang lakukan tinjauan karena industri yang terimbas PP Gambut tidak hanya kayu, tapi juga minyak kelapa sawit. Kami tidak mau perusahaan itu mati karena PP ini," ucapnya.

Kemen LHK mencatat, saat ini luas lahan gambut mencapai 14 juta hektare. Lahan gambut yang bisa dimanfaatkan pengusaha mencapai 7 juta hektare, tersisa sekitar 3,6 juta hektare sampai 4 juta hektare. Masing-masing 1,7 juta hektare diantaranya telah dimanfaatkan areal kebun sawit dan hutan tanam industri


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : News Editor
Sumber : Antara

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper