Bisnis.com, TANGERANG -- Ketua Organda Provinsi Banten Emus Mustaghfirin menyatakan formulasi penetapan tarif angkutan umum di Indonesia saat ini belum siap mengakomodasi fluktuasi harga BBM yang akan dievaluasi dan ditetapkan setiap dua pekan sekali.
Pasalnya, proses penyesuaian tarif saat ini harus melalui pembahasan bersama dengan sejumlah elemen seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dinas Perhubungan, Akademisi dan masyarakat.
“Jika dahulu kenaikan harga BBM dalam hitungan tahun, pelaksanaan rapat evaluasi dapat dilakukan dengan baik. Tetapi jika harga BBM naik dan turun tiap dua pekan sekali, tidak mungkin kami melakukan rapat penentuan tarif angkutan umum tiap pekan,” ujarnya kepada Bisnis.com.
Oleh karena itu, ujarnya, Organda Banten telah memberi usulan kepada Dishub Provinsi Banten untuk menggunakan skema tarif batas bawah dan batas atas. Yakni, jika harga BBM naik, maka pengusaha angkutan umum akan menggunakan tarif batas atas, begitu pula sebaliknya, jika harga BBM turun, maka tarif berlaku adalah batas bawah.
Dengan skema ini, besaran tarif angkutan diharapkan dapat bergerak lebih fleksibel sesuai harga kepantasan. Kendati demikian, Pemprov Banten, menurutnya masih menunggu arahan dari Pemerintah Pusat terkait formulasi penentuan tarif angkutan sesuai keadaan saat ini.
Akibat belum adanya formulasi baru yang digunakan, sejumlah pemerintahan daerah di Provinsi Banten merespon penurunan harga BBM dengan menurunkan tarif angkutan umum. Padahal, pengusaha masih enggan menurunkan tarif angkutan, mengingat dari 10 faktor penunjang tarif angkutan, hanya harga BBM yang mengalami penurunan.
“Lainnya seperti suku cadang kendaraan, harga ban, biaya operasional, biaya pemeliharaan tidak turun. Selama ini, penentuan besaran tarif angkutan harus berdasarkan aspek menutupi biaya operasional,” katanya.