Bisnis.com, JAKARTA--Rencana pemerintah menggabungkan PT Kimia Farma Tbk. dan PT Indofarma Tbk. rasanya tinggal menunggu waktu. Keduanya pun telah ancang-ancang menyelaskan rencana ekspansi tahun ini. Bagaimana prospeknya?
Wacana pembentukan holding perusahaan farmasi pelat merah sejatinya merupakan lagu lama yang telah didengungkan sejak 2005.
Saat Dahlan Iskan duduk menjadi orang nomor satu di Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), rencana merger ini justru makin nyaring terdengar. Sayang memang, hingga Dahlan lengser aksi korporasi tersebut tak kunjung terlaksana.
Suksesornya, Rini Mariani Soemarno juga tak ketinggalan mengumbar janji merger tersebut. Dalam beberapa kesempatan, ia bahkan menyebut rencana ini menjadi prioritas Kementerian BUMN.
Jalan juga semakin mulus setelah PT Mandiri Sekuritas menyelesaikan risetnya pada Oktober lalu. Hasilnya, pemerintah punya tiga opsi. Imbreng, right issue, atau tukar guling saham. Mana yang akan dipilih pemerintah tentu masih harus ditunggu.
Satu hal yang pasti, rencana merger dua emiten farmasi pelat merah ini akan melahirkan perusahaan yang kokoh baik dari sisi permodalan maupun pangsa pasar.
David N. Sutyanto, analis PT First Asia Capital mengatakan Kimia Farma berpotensi besar menjadi holding perusahaan farmasi ini.
Selain Kimia Farma dan Indofarma, dua BUMN farmasi lainnya adalah PT Phapros Tbk. dan PT Biofarma. Di antara kuartet tersebut, emiten berkode KAEF ini boleh jadi yang paling berprestasi.
Sepanjang sembilan bulan pertama tahun lalu, Kimia Farma berhasil membukukan penjualan Rp3,7 triliun atau naik 8,5% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebanyak Rp2,81 triliun.
Kenaikan penjualan ini juga diikuti oleh kenaikan laba bersih hingga 19,3% menjadi Rp145 miliar dari periode sebelumnya Rp121 miliar. Pencapaian ini merupakan salah satu yang tertinggi di antara 20 BUMN yang melantai di Bursa Efek Indonesia.
David menuturkan, tahun ini akan menjadi arena pertarungan yang sengit bagi perusahaan farmasi di Tanah Air. Sebabnya apalagi kalau bukan implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dijalankan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Apalagi tahun ini aturan untuk mewajibkan perusahaan mendaftarkan karyawannya di BPJS Kesehatan juga mulai diterapkan.
“Persaingan pasar farmasi akan semakin ketat, terutama di sektor obar generik. Daripada mereka [KAEF dan INAF] jalan sendiri-sendiri kan lebih baik merger,” katanya kepada Bisnis pekan lalu.
Di sisi lain, obat generik sebenarnya bukan bisnis utama Kimia Farma. Pada kuartal III/2014, bisnis obat generik baik milik entitas perseroan maupun pihak ketiga hanya Rp523,77 miliar atau berkontribusi sekitar 17% terhadap total penjualan perseroan sebanyak Rp3,07 triliun.
Kontribusi terbesar masih disumbang oleh penjualan produk ethical yang mencapai Rp1,69 triliun atau lebih dari separuh total pendapatan KAEF. Nah, merger dengan Indofarma akan membuat carita sedikit berbeda. Pasalnya, emiten berkode INAF ini memang salah satu jagoan di bisnis obat generik.
Kendati diperkirakan memiliki masa depan cerah, rencana merger ini bukan tanpa hambatan. Pasalnya, calon pasangan KAEF yakni Indofarma masih menangguk kerugian hingga Rp35 miliar pada kuartal III/2014. David menilai hal ini berpotensi membebani kinerja holding BUMN farmasi yang akan terbentuk.
Pernyataan dari manajemen INAF beberapa waktu lalu memang bisa menjadi angin segar. Sampai akhir 2014, perseroan optimistis bisa membalikkan keadaan dengan meraup laba Rp1 miliar. Ini dilakukan dengan menggalakkan efisiensi hingga Rp93 miliar pada 2014. Selain itu, tren positif INAF juga terlihat dari pertumbuhan pendapatan hampir 20% menjadi Rp792,83 miliar pada kuartal III/2014. Tidak heran kalau tahun ini manajemen mematok target ambisius untuk meraup laba Rp40 miliar.
Rencana Ekspansi
Dengan atau tanpa merger, Kimia Farma sejatinya memiliki prospek cerah. Bloomberg setidaknya mengonfirmasi hal tersebut. Pendapatan perseroan pada 2014 diperkirakan mencapai Rp5,1 triliun. Angka ini lebih tinggi dari target manajemen KAEF sebanyak Rp4,8 triliun.
Untuk tahun ini, pendapatan perseroan diperkirakan melonjak signifikan menjadi Rp6,11 triliun dan menyentuh Rp7,21 triliun pada 2016. Laba bersih perseroan diprediksi juga semakin moncer hingga mencapai Rp236,80 miliar pada 2014. Pencapaian ini akan menyentuh Rp303,70 miliar pada 2015 dan Rp370,55 miliar pada 2016.
Bagaimana dengan proyeksi dari internal perseroan? Manajemen KAEF sebenarnya mematok target lebih konservatif di tahun ini. Direktur Utama Kimia Farma Rusdi Rosman mengatakan penjualan di 2015 akan tumbuh 13% atau sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata industri di kisaran 10%. Dengan target akhir tahun sebanyak Rp4,8 triliun, penjualan di 2015 hanya akan mencapai Rp5,5 triliun.
Guna merealisasikan target tersebut. Emiten yang satu ini siap jor-joran berekspansi. Tahun ini, manajemen menganggarkan belanja modal Rp600 miliar. Sebanyak Rp200 miliar dari capex akan dipakai untuk membiayai pabrik di Banjaran, Jawa Barat. Selain itu, perseroan juga akan mengembangkan pabrik garam farmasi di Jombang, Jawa Timur.
Selain pabrik, fokus utama KAEF juga memperbaiki gudang penyimpanan dan pengembangan apotek. Dari mana sumbernya? Rusdi menuturkan selain menggunakan kas internal perseroan juga mengandalkan dana dari penerbitan medium term notes (MTN) senilai Rp200 miliar beberapa waktu lalu.
Menariknya, KAEF rupanya juga tertarik mengembangkan bisnis lain di luar farmasi. Manajemen diketahui tengah menjajaki potensi bisnis perhotelan yang akan diintegrasikan dengan apotek. Untuk tahap awal, Kimia Farma akan membangun tiga hotel di Jakarta dan Bandung dengan memanfaatkan lahan tidur milik perseroan.
“Dananya enggak banyak karena kita sudah punya lahannya. Nanti skemanya kerja sama dengan pengembang,” katanya kepada Bisnis beberapa waktu lalu.
Tak puas dengan bisnis hospitality, Kimia Farma juga tengah sibuk mencari partner untuk membangun rumah sakit. Emiten ini sebenarnya sudah beberapa kali bertemu dengan perusahaan konstruksi pelat merah seperti PT Wijaya Karya Tbk. dan PT Adhi Karya Tbk. Sayangnya kesepakatan gagal terlaksana.
Rusdi menuturkan, pihaknya memang memprioritaskan partner dari BUMN konstruksi untuk proyek tersebut. Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan pihaknya akan mengalihkan pandangan ke perusahaan swasta jika tak kunjung deal dengan BUMN.
Apapun skenario pemerintah untuk perusahaan farmasi pelat merah, rasanya kita tidak bisa menyangkal satu hal. Bisnis farmasi merupakan kebutuhan dasar sekaligus ladang bisnis yang menggiurkan bukan?