Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terkait Relaksasi Utang, BI Dituding Kurang Cermat

Langkah Bank Indonesia (BI) merelaksasi aturan utang luar negeri swasta dinilai kurang mencermati risiko utang luar negeri (ULN) valas BUMN yang kian menggunung.
Bank Indonesia/JIBI
Bank Indonesia/JIBI

Bisnis.com, JAKARTA--‎Langkah Bank Indonesia (BI) merelaksasi aturan utang luar negeri swasta dinilai kurang mencermati risiko utang luar negeri (ULN) valas BUMN yang kian menggunung.

‎"Mestinya BUMN yang lebih ditekankan, karena kalau dipilah-pilah utang valas swasta itu dari induknya," kata Kepala Ekonom PT Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih pada Bisnis.com, Senin (5/1/2015).

Akhir pekan lalu, pihak BI menyebutkan secara spesifik bahwa‎ PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dikecualikan dari kewajiban minimum rasio lindung nilai (hedging), yakni sebesar 20% dari selisih aset valas dengan kewajiban valas. Padahal dalam peraturan BI (PBI)‎ sebelumnya, tak ada pengecualian semacam ini.

Garuda memperoleh keistimewaan karena mencatatkan keuangannya dalam dolar Amerika Serikat (AS). Di sisi lain utang valas Garuda tercatat meningkat dari US$800 juta menjadi US$1 miliar dan membukukan kerugian yang mencapai US$219,5 juta di akhir kuartal III/2014 atau melonjak 14 kali lipat dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) BI Juda Agung menilai pengecualian itu ditetapkan mengingat pencatatan dalam dolar mengurangi risiko korporasi terkait. "Karena sudah sama-sama dolar jadi tidak ada mismatch," katanya.

Selain itu, ‎pengecualian peringkat ULN valas untuk proyek infrastruktur juga memberikan kelonggaran lebih khususnya bagi korporasi pelat merah. Dalam beleid terbaru, peringkat utang tak diperlukan jika lebih dari 50% pembiayaan berasal dari lembaga internasional atau untuk pembangunan proyek pemerintah.

Terlebih, saat ini pemerintah juga tengah mendorong keterlibatan BUMN karya untuk ikut mengerjakan proyek-proyek infrastruktur, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Padahal, dalam aturan lain yang mengatur tentang utang BUMN menyebutkan‎ gagal bayar BUMN terhadap fasilitas pinjaman dari development bank--yang termasuk dalam lembaga internasional--menjadi tanggungan pemerintah. Dengan demikian, default itu berisiko menambah utang pemerintah.

Sementara itu, data ‎dari BI menunjukkan per Oktober 2014 persentase ULN BUMN mencapai 20% dari total ULN korporasi swasta nonbank, yakni senilai US$25,71 miliar dari US$129,27 miliar. Dari nilai ULN BUMN itu, US$24,12 miliar adalah utang BUMN nonlembaga keuangan.

Selain Garuda, PT Pertamina (Persero) dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) juga memiliki utang valas dalam jumlah besar. Per semester I/2014 Pertamina mencatatkan kenaikan nilai utang sekitar 20% menjadi US$8,68 miliar. Perusahaan migas ini bahkan ‎baru saja meraih pinjaman valas senilai US$1,8 miliar.

Sementara, posisi utang PLN per akhir kuartal III/2014 tercatat senilai Rp471 triliun dengan debt to equity ratio (DER) melampaui 250%. Kondisi ini termasuk ekstrem. Pasalnya jika dibandingkan dengan perusahaan sejenis di kawasan regional DER-nya masih di bawah 100%. Belum lagi, dalam komponen utang itu ada utang berupa surat utang bervaluasi dolar yang sebagian besar pemiliknya adalah asing‎.

Lana mengatakan, pengendalian ini memang sulit. "Pasti banyak tekanan," ucapnya. Namun, kondisi likuiditas dalam negeri dan tingginya biaya kredit domestik mendorong korporasi, termasuk BUMN, untuk berutang di luar negeri.

Ekonom dari Universitas Indonesia itu lantas membandingkan, saat korporasi mengagunkan asetnya untuk memperoleh pinjaman di dalam negeri perolehan nilai pinjaman hanya sekitar‎ 75% dari total nilai aset. Sementara itu, di Singapura dengan agunan yang sama perusahaan bisa mendapatkan kucuran pinjaman hingga 95% dari nilai agunan.

Akhir pekan lalu BI merevisi aturan terkait ULN valas swasta melalui PBI No 16/21/2014 tanggal 29 Desember 2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan ULN Korporasi Nonbank.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper