Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PULP DAN KERTAS: Biaya Impor Kertas Sisa Perlu Klasifikasi Khusus

Kementerian Perindustrian menginginkan adanya klasifikasi khusus dari segi volume untuk impor kertas sisa.
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA—Kementerian Perindustrian menginginkan adanya klasifikasi khusus dari segi volume untuk impor kertas sisa.

Direktur Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Pranata mengatakan selama ini impor kertas sisa (waste paper) berbiaya tinggi karena prosedur izin Kementerian Perdagangan dan verifikasi KSO bahkan besarannya pun dipukul rata.

“Proses impor cukup mahal sekitar US$485 per pengapalan. Ini memberatkan karena dalam shipment tidak diklasifikasikan waste paper yang diimpor itu volumenya penuh, separuh, atau cuma sedikit,” tuturnya, Selasa (30/12/2014).

Oleh karena itu Kemenperin menginginkan dilakukan klasifikasi khusus berdasarkan volume waste paper yang diimpor.

Sebagai contoh dibuat kategori untuk impor mulai dari yang paling sedikit 10 – 20 ton, sedang sekitar 20 – 30 ton, dan di atas 30 ton.

Kemenperin mengharapkan kelonggaran dan kemudahan dalam pembelian waste paper dari luar negeri.

Kertas ini bukanlah limbah melainkan bahan baku utama yang dibutuhkan produsen kertas coklat.

Kualitas waste paper lokal tak memenuhi standar sehingga produsen harus mengimpor.

Pranata mengatakan Kementerian Perindustrian sekarang tengah mematangkan rancangan peraturan menteri untuk impor kertas sisa.

“Kami merencanakan agar waste paper digolongkan sebagai bahan baku bukan limbah sehingga disusun peraturannya, ini masih dalam konsep,” tuturnya.

Kebutuhan domestik atas bahan baku berupa kertas sisa sekarang berkisar 7 juta ton per tahun.

Adapun pemenuhan dari impor mencapai 70% atau sekitar 4 juta ton – 4,5 juta ton.

Pasokan waste paper  dari dalam negeri sepanjang tahun maksimal cuma 2,5 juta ton.

Saat ini, imbuh Pranata, produksi kertas coklat mencapai sekitar 40% dari total kapasitas produksi terpasang kertas nasional.

Kendati terjadi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, bisnis kertas coklati diyakini tetap aman.

Hal tersebut  terpengaruh dari fokus penjualan yang utamanya disuplai untuk bahan baku kemasan bagi industri makanan minuman (mamin). Sektor mamin diyakini terus bertumbuh, baik dari bisnis di dalam negeri maupun ekspor.

Oleh karena itu kebutuhan kertas coklat untuk kemasan mamin pun akan tetap menanjak. Secara tidak langsung bisnis kertas coklat ini berorientasi ekspor karena produk mamin yang ada juga dipasok ke pasar luar negeri.

“Kertas ini untuk industri kemasan yang mendukung komoditas lain. Dan industri mamin sendiri tumbuh cepat berarti tumbuh cepat pula kebutuhan kemasan,” ucap Pranata.

Wakil Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Rusli Tan justru menilai industri bubur kertas (pulp) dan kertas RI belum efisien lantaran tergantung kepada impor waste paper. Tapi pembelian dari luar negeri pun tak terelakkan karena produk lokal kualitasnya buruk.

“Kertas impor itu pakai virgin pulp, sedangkan waste paper kita kalau didaur ulang malah semakin tidak efisien dan tidak bagus. Waste paper ini seperti gadis 17 tahun, semua memperebutkan,” kata Rusli.

Perluas Ekspor

Ekonom  Institute for the Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menjelaskan pertumbuhan konsumsi kertas domestik sampai 2017 diperkirakan 2,4% per tahun, sedangkan global tumbuh 2,1%. Berdasarkan asumsi ini maka kebutuhan kertas dunia pada 2025 diperkirakan mencapai 500 juta ton. 

Menurutnya hal itu perlu jadi fokus pemerintah dan pelaku industri jika bermaksud menjadikan industri pulp dan kertas sebagai sektor yang berorientasi ekspor. Oleh karena itu pemerintah mesti menyiapkan skema insentif yang bisa mendorong kinerja industri setara dengan laju pertumbuhan kebutuhan. 

"Inilah kekurangan Indonesia, kita tidak pernah melihat masa depan," ucap dia. 

Industri domestik mesti lebih serius menggali pasar ekspor di China dan Asia selain Asean. Pasalnya 52% kebutuhan kertas ada di kawasan Asia. Selama ini produk kertas buatan Indonesia baru merambah sektor Asia Tenggara.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dini Hariyanti
Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper