Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Komite Reformasi Tata Kelola Migas Panggil Pertamina Lagi

Komite Reformasi Tata Kelola Migas akan kembali memanggil Direksi PT Pertamina (Persero) dan Pertamina Energy Trading Ltd minggu depan.

Bisnis.com, JAKARTA—Komite Reformasi Tata Kelola Migas akan kembali memanggil Direksi PT Pertamina (Persero) dan Pertamina Energy Trading Ltd minggu depan.

Anggota Komite Reformasi Tata Kelola Migas yang sekaligus Direktur Gas Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Djoko Siswanto mengatakan hari ini Komite telah memanggil Direksi Pertamina dan Direksi Petral dengan agenda utama membuka biaya pokok produksi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

“Tadi yang hadir hanya Pak Suhartoko,” katanya katanya seusai rapat Komite Reformasi Tata Kelola Migas dengan PT Pertamina (Persero) di Jakarta, Rabu (3/12).

Dia menjelaskan Direksi Pertamina dan Petral tidak memenuhi undangan Komite Reformasi Tata Kelola Migas karena perusahaan pelat merah itu sedang mengadakan acara pemaparan pandangan energi (energy outlook).

“Direksi yang lain sedang ada acara,” tambahnya.

Menurut Djoko, Suhartoko merupakan Senior Vice Presiden Fuel Marketing and Distribution yang tidak pernah mengetahui harga pembelian minyak mentah ataupun BBM secara pasti.

Dia menambahkan bagian kerja divisi Fuel Marketing and Distribution hanya memesan volume yang akan dijual Pertamina. Karena itu, minggu depan Komite Reformasi akan kembali memanggil Direksi Pertamina dan Petral untuk memberikan data impor secara detail.

“Minggu depan kami panggil, Hari Rabu,” ungkapnya.

Meskipun Direksi pertamina tidak hadir, tambahnya, Komite Reformasi memaklumi kondisi Pertamina karena baru saja mengalami pergantian direksi.

Pada pertemuan minggu depan, lanjutnya, Pertamina dan Petral harus terbuka mengenai data impor minyak mentah dan BBM. Dia mencontohkan besaran potongan harga (diskon) yang biasanya diberlakukan dalam pembelian minyak tidak dibuka secara gamblang.

Jika Petral tidak membuka besaran potongan harga, pemerintah tetap harus membayar sesuai dengan harga awal tanpa diskon.
“Maka pemerintah rugi,” ujarnya.

Terkait data impor, Djoko menyampaikan saat ini 70% dari pasokan Premium merupakan impor, kemudian 30% dari pasokan solar bersubsidi berasal dari impor.

“Soal berapa belinya dan berapa diskonnya, kami enggak tahu,” tegasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Fauzul Muna
Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper