Bisnis.com, JAKARTA— Harga minyak dunia yang terus melandai menarik peluang wind fall profit membayangi industri petrokimia secara terbatas.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik Indonesia (INAPlas) Fajar A.D. Budiyono mengatakan potensi keuntungan besar-besaran yang tak terduga (wind fall profit) hanya akan dirasakan pelaku bisnis di sektor petrokimia terintegrasi.
“Wind fall profit agak lumayan karena harga minyak jatuh dan nafta jatuh tetapi derivatifnya cuma sedikit jatuhnya, polimer juga cuma sedikit,” tuturnya saat dihubungi Bisnis, Jumat (14/11/2014).
Harga minyak terus tampak memudar bahkan sampai penutupan perdagangan pada Rabu (12/11/2014), misalnya, minyak jenis Brent di bursa London melemah ke US$80,38, atau turun 1,58% per barel sebagaimana dikutip Bloomberg, Kamis (13/11/2014).
Sementara WTI pada penutupan perdagangan Rabu ketika kontrak komoditas tersebut melemah 0,98% dan bertengger di posisi US$77,18 di bursa New York. Penurunan ini untuk pertama kalinya dalam empat tahun akibat spekulasi OPEC yang dilaporkan tidak akan mengurangi kelebihan pasoknya.
Fajar menyatakan kini harga nafta berkisar US$711 per ton. Sementara harga petrokimia seperti etilena berkisar US$1.100 – US$1.200 per metrik ton. Adapun polietilena dan propilena bergerak di kisaran US$1.400 per metrik ton.
Sementara dalam data terakhir Platts Global Petrochemical Index (PGPI) dinyatakan harga petrokimia global terus menyusut mengikuti pelemahan harga energi minyak di hulu. Pada September 2014 turun 3% menjadi US$1.384 per metrik ton dari realisasi Agustus.
Apabila disandingkan dengan harga pada September 2013 penurunannya 0,25% dari US$1.388 per metrik ton. PGPI merupakan patokan yang digunakan tujuh petrokimia global yang dipublikasikan penyedia informasi energi, petrokimia, dan logam global, Platts.
Platts Editorial Director of Petrochemical Analytics Jim Foster mengatakan ada dua yang memengaruhi pelemahan harga pasar petrokimia dunia beberapa bulan terakhir. Pertama tentu lantaran memudarnya harga minyak mentah dan nafta.
Nafta merupakan bahan baku utama petrokimia, dan menjadi indikator utama produk petrokimia seperti olefin dan polimer. Petrokimia sendiri diserap untuk memproduksi plastik, karet, nilon, dan produk lain yang dibutuhan manufaktur, konstruksi, farmasi, elektronik, penerbangan, dan lain-lain.
“[Penurunan harga minyak dan nafta] memangkas biaya produksi produk petrokimia. Penyebab kedua, harga barang petrokimia yang naik terlampau tinggi bagi konsumen, hasilnya permintaan anjlok dan penjualan tertahan,” ujar Foster dilansir laman Platts.com.
Platts menyatakan harga olefin baik etilena turun 1% pada bulan lalu terhadap perolehan Agustus 2014 menjadi US$1.404 per metrik ton. Sementara penurunan 1% untuk propilena bertengger di angka US$1.330 per metrik ton.
Sementara harga polietilena anjlok 3% menjadi US$1.641 per metrik ton. Untuk polipropilena penurunannya 2% ke level US$1.620 per metrik ton.
Harga produk aromatik benzene mengalami penurunan paling parah sebesar 9% menjadi US$1.264 per metrik ton. Paraxylen turun penurunan sebesar 7% menjadi US$1.207 per metrik ton. Tapi toluene hanya turun 4% menjadi US$1.080 per metrik ton.
“Propilena dan etilena dibandingkan nafta jauh. Industri petrokimia terintegrasi, yakni yang sejak nafta cracker, akan nikmati keuntungan lebih,” ujar Fajar.
Fajar mengutarakan bahwa tren penyusutan harga saat ini terpengaruh kelebihan pasokan dan geopolitik di Timur Tengah. Kelompok ISIS dikabarkan menguasai sejumlah kilang lantas suplai jadi berlebih tetapi permintaan tak menanjak.
Peluang wind fall profit dari kondisi yang ada, menurut dia, berlaku sangat terbatas bagi industri petrokimia domestik. Pasalnya pemain yang memiliki bisnis terintegrasi sejak pabrik naftra cracker hanya PT Chandra Asri Petrochemical Tbk., sedangkan yang lain tidak.