Bisnis.com, JAKARTA – Roundtable on Sustainable Palm Oil berharap proses studi bersama atau joint study guna memetakan perbedaan penerapan sertifikasi pengelolaan kelapa sawit lestari bersama Indonesian Sustainable Palm Oil dapat selesai pada akhir tahun ini.
Direktur RSPO Indonesia Devi Kusumadewi mengatakan hal tersebut agar kedua pihak dapat mengakomodasi perbedaan tersebut guna memudahkan sertifikasi RSPO dan ISPO nantinya.
“Harapan kami akhir tahun study ini selesai untuk merampungkan perbedaannya apa saja, sehingga kedua pihak (RSPO dan ISPO) dapat mengadress perbedaan itu tadi apanya, seperti aturan HCVF (High Conservation Values Forest) dan HCS (High Carbon Stock) itu terutama,” katanya, Kamis, (13/11/2014).
Dia mengatakan selain HCVF atau Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi dan HCS atau Cadangan Karbon Tinggi, aturan mengenai penerapan Free Prior Inform Consent atau Persetujuan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan mengenai masyarakat adat antara kedua sertifikasi ini berbeda, sehingga hal ini yang membuat studi tersebut masih dikaji.
Dengan studi lebih lanjut bersama ISPO, Devi berharap RSPO memiliki sandaran kebijakan dari pemerintah agar perusahaan dapat mendapatkan akses berjualan, namun tidak melanggar aturan yang ditetapkan negara.
“Paling tidak ada sandaran kebijakan dari pemerintah untuk perusahaan ini menerapkan komitmen mereka, sehingga tidak melanggar peraturan perundangan. Karena di RSPO memang ada kebijakan kita untuk comply dengan national regulation,” jelasnya.
Dia mengatakan audit bersama atau combined audit nantinya sudah bisa dilakukan, tapi sertifikatnya masih terpisah. Meski demikian hal tersebut dapat membantu perusahaan untuk hemat waktu audit dan harga pengauditan.
“Untuk requirement yang sama bisa diverifikasi sekali saja, tapi kalau berbeda harus terpisah. Dan sertifikatnya pun tetap dua, RSPO dan ISPO. Kalau konvergensi keduanya belum, kita masih menunggu lebih lanjut, ” katanya.
Sementara itu, Ketua Komisi ISPO Rosediana Soeharto mengatakan sulit untuk mengubah ketentuan HCV dalam proses joint study, karena selama ini Indonesia tidak menganut hal itu.
Selain itu, dia mengatakan berbagai perbedaan aturan tersebut yang diterapkan negara-negara di Eropa selama ini telah menghambat perdagangan CPO dari Indonesia.
“Kita sebagai ISPO mengharapkan sustainability untuk perbaikan, agar membuat produktivitas dan kesejahteraan kita jadi lebih baik. Jadi kalau ada sustainablilty yang tujuannya bukan itu, itu menghambat perdagangan,” katanya.
Dia mengatakan Indonesia bisa saja mempermasalahkan hal tersebut untuk disidang ke World Trade Organization, “Harusnya bisa, misalnya negara yang mengenakan. Misalnya tidak boleh menanam di HCV, memangnya Eropa boleh mengatakan itu? Kita ini kan tropis tidak bisa seperti itu. Negara ini lah yang mengatur.”