Bisnis.com, JAKARTA--Guna mempercepat pengembangan pelabuhan di Indonesia, perlu ada suasana kompetisi antara korporasi pengelola berpelat merah dan mereka yang berbendera asing.
Kepala Badan Pusat Pengkajian Kebijakan, Iklim, dan Mutu Industri (BPKIMI) Arryanto Sagala mengatakan selama ini pelaku industri mengeluhkan ongkos logistik yang terlalu tinggi, ini terpengaruh biaya operasional pelabuhan yang terlalu mahal.
"Pelindo tidak ada pesaingnya, bukan monopoli tetapi tidak ada pesaingnya," katanya, di Jakarta, Selasa (11/11/2014).
Kinerja logistik di dalam negeri terbilang mahal di atas 24% dari PDB. Sementara Bank Dunia pada tahun ini mencatat ranking di subsektor kepelabuhanan ada di urutan ke-74 dari 160 negara.
Arryanto berpendapat dalam membangunan pelabuhan pemerintah perlu memberi ruang lebih longgar kepada investor asing. Hal ini bertujuan untuk memancing lebih banyak pemilik kapital asing yang tertarik membenamkan modalnya di Indonesia.
Pembangunan infrastruktur ini bisa dipercayakan kepada swasta tetapi tetap ada batasan yang bisa dicampuri pemerintah. Pembangunan pelabuhan baru mendesak dibutuhkan pelaku industri, terutama mereka yang berbasis di Jawa Barat sangat mengharapkan realisasi Cilamaya.
Selama badan usaha milik negara hanya menjadi pemain tunggal di bidang kepelabuhanan maka iklim kompetisi tak tercipta karena mereka tidak punya pesaing. Walhasil biaya pelabuhan yang ditetapkan hanya mempertimbangkan kebutuhan perusahaan pengelola semata.
"Kalau pelabuhan mau dikasih ke swasta pun tetapi nanti izinnya dipersulit pemerintah," ucap Arryanto.
Presiden Joko Widodo menargetkan pengembangan 24 pelabuhan berskala internasional dengan biaya lebih dari Rp424 triliun.
Proyek tersebut diharapkan dapat lebih menertibkan pengoperasian pelabuhan sehingga akses niaga antarnegara lebih mudah dan murah. Setelah dikembangkan, 24 pelabuhan bersangkutan jadi bisa dilewati kapal niaga besar berkapasitas 3.000 - 6.000 TEUs.