Bisnis.com, JAKARTA—Kementerian Perindustrian menilai dalam mengatur pasar sigaret di Tanah Air tidak sekadar membutuhkan kontrol terhadap produsen tetapi juga bagi perilaku konsumen.
Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Panggah Susanto berpendapat kendali terhadap industri dan konsumen tak cuma memerlukan regulasi pembatasan produksi. Bagi konsumen sendiri juga perlu diberlakukan peraturan yang tegas, seperti larangan merokok di tempat umum.
“[Kalau pasar berkurang karena memang perokok berkurang] justru kami dukung, kami juga mendukung dari sisi kesehatan,” tuturnya, akhir pekan ini.
Kemenperin menyatakan dukungan terhadap aspek kesehatan dari bahaya merokok tak bisa begitu saja diimplementasikan dengan mengebiri industri.
Pasalnya negara sendiri memiliki ketergantungan terhadap cukai rokok guna memenuhi target setoran pajak ditambah lagi soal serapan tenaga kerja.
Sejalan dengan pendirian itu pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II sejauh ini tak kunjung meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). FCTC merupakan konvensi internasional sejumlah negara dinaungi World Health Organization (WHO) mengenai kontrol tembakau.
Kubu antitembakau jelas menginginkan Indonesia turut menandatangani perjanjian global tersebut. Ratifikasi FCTC ibarat payung hukum utama bagi pemerintah dalam pengendalian konsumsi tembakau dan perdagangannya.
Kemenperin tetap menginginkan pabrik rokok eksis di Indonesia hingga beberapa tahun ke depan khususnya sigaret kretek tangan (SKT). Bersamaan dengan itu pula industri ini tetap perlu memegang prinsip isu kesehatan.
“Dukungan [terhadap isu kesehatan] juga tidak bisa hanya dengan regulasi lalu kita tutup [pabrik rokok]. Kemenkeu bisa tidak mengganti kontribusi cukai rokok dalam penerimaan pajak,” ucap Panggah.
Pada sisi lain Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan berencana menaikkan cukai rokok pada tahun depan sebesar 10,2%. Tapi Kemenperin mengusulkan agar penaikan diberlakukan untuk produk selain sigaret kretek tangan.
Pasar SKT semakin menyusut sejalan dengan pergeseran minat konsumen ke sigaret kretek mesin (SKM).
Kondisi ini berimbas kepada penutupan pabrik SKT yang menyebabkan pengangguran bertambah. Oleh karena itu Perindustrian tak ingin cukai SKT naik.
Penaikan cukai rokok selain SKT juga akan memperlebar disparitas harga jual eceran terhadap SKM. Kondisi ini diharapkan dapat membantu mengembalikan preferensi konsumen kepada kretek buatan tangan.
“Cukai rokok coba kita evaluasi apakai SKM yang naik tetapi SKT tetap. Kalau bisa SKM saja cukainya naikkan tetapi SKT jangan,” kata Panggah.
Permintaan rokok kretek buatan tangan terus menyusut selama tiga tahun terakhir.
Pasar SKT pada tahun lalu tinggal 26,07%, sedangkan rokok kretek buatan mesin tumbuh menjadi 66,20%. Kemenperin memperkirakan pasar SKT pada tahun ini bisa menyusut hingga 22%.