Bisnis.com, JAKARTA - Permasalahan harga jual masih menjadi kendala beras analog yang diharapkan menjadi salah satu diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan angka impor beras dalam negeri.
Sekretaris Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian Enny Ratnaningtyas mengatakan beras analog yang diharapkan menjadi subtitusi untuk menekan impor ternyata harganya masih di atas beras premium saat ini.
“Ini masih menjadi tantangan, kok olahan ini malah lebih mahal. Paling tidak kita punya harga yang lebih rendah atau paling tidak sama dengan beras saat ini,” katanya di Jakarta, (14/10/2014).
Saat ini, dia mengatakan harga beras analog mencapai Rp 12.000/kg, masih lebih mahal dibandingkan harga beras premium Rp 10.500/kg.
“Ini perlu studi lebih lanjut. Memang ini baru awal, kita sudah mencoba kasih bantuan peralatan dari Bogor dan mulai kita coba. Seharusnya kita sudah mulai beralih subtitusi sumber karbohidrat,” katanya.
Dia menjelaskan beras tiruan berbahan dasar tepung lokal tersebut sebenarnya sangat menjual, mengingat kadar gula yang bisa ditekan sehingga cocok untuk penderita diabetes.
“Selain itu, kami harapkan juga bahan bakunya bisa terus kontinyu, karena bahan baku ini sering jadi masalah. Nanti kayak tepung tepung mokang yang udah mulai masuk industri besar, eh kekurangan ubi kayu yang rebutan sama bioethanol dan yang lain,” katanya.
Menurut Dirjen PPHP Kementerian Pertanian Yusni Emilia Harahap solusinya perlu dtemukan efisiensi produk dengan memberikan kemudahan dan insentif dalam industri tersebut.
“Kalau ada industri yang serius menggarap ini harus diberi insentif lah, kemudahan, mungkin seperti tax holiday,” katanya.
Dia mengatakan dengan kontinuitas pasokan bahan baku, dan industri hilir yang diberikan kemudahan sudah tidak alasan beras analog tidak bisa berkembang.
“Harusnya kalau itu sudah dberikan enggak ada alasan lagi untuk tidak berkembang . Tapi, perlu rencana terpadu, seperti penyediaan lahannya. Nanti malah jadi masalah, hilirnya maju, hulunya malah enggak ada pasokan,” katanya.