Bisnis.com, JAKARTA—Akhir-akhir ini, riuh rendah komentar menjadikan Indonesia sebagai kekuatan poros maritim dunia mulai ramai. Pemantiknya, presiden terpilih Joko Widodo yang menggadang-gadang tol laut.
Tidak berlebihan memang jika semangat untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia saat ini sangat menggebu-gebu, karena sejarah mencatat, bangsa ini memiliki masa lalu yang gemilang dalam penguasaan laut pada zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
Paska kemerdekaan, Presiden Indonesia pertama Soekarno menunjuk Perdana Menteri Djuanda Kertawijaya mendeklarasikan Indonesia berasaskan negara kepulauan (Archipelagic State).
Deklarasi yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Djuanda baru diakui dunia internasional pada 1982 dalam konvensi hukum laut PBB ke-III United Nations Conventions on the Law of the Sea (Unclos) yang kemudian dilanjutkan dengan meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut dengan Undang-undang No. 17/1985.
Melalui serangkaian perjuangan orang terdahulu, kini luas laut Indonesia mencapai 5,8 juta kilometer persegi yang terdiri dari laut teritorial 3,1 juta meter persegi dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 2,7 kilometer.
Jumlah pulau yang berjajar dari Sabang-Marauke mencapai 18.110 pulau dengan garis pantai sepanjang 95,181 kilometer yang merupakan terpanjang keempat. Jika bicara modal menjadi kekuatan poros maritim dunia, rasanya Indonesia punya.
Namun menyandang sebagai negara kepulauan, bukan berarti Indonesia lantas dapat disebut negara maritim.
Dalam suatu simposium maritim, pakar hukum maritim Chandra Motik mengatakan untuk kondisi saat ini, Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar yang memiliki ciri khas sebagai negara nusantara.
Artinya, secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia dan berada di antara Benua Asia dan Benua Australia. Namun, belum dapat disebut sebagai negara maritim.
Alasannya, sebuah negara baru dapat disebut sebagai negara maritim jika telah menjadikan laut sebagai tulang punggung eksistensi dan pengembangan negara.
Untuk itu, orientasi bangsa ini harus mulai mengacu pada laut dari pelbagai aspek baik politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan hukum.
“Karena hukum menjadi dasar dari penentu arah kebijakan. Hukum menjadi dan memberikan arah serta tujuan terhadap kegiatan pembangunan yang dilakukan."
Ketua Forum Kajian Pertahanan dan Maritim (FKPM) dan Tenaga Profesional Tetap Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Laksamana Muda (Purn) Robert Mangindaan mengatakan, paling tidak laut memiliki 3 arti bagi bangsa ini, yakni sebagai perekat antarpulau, sumber mata pencaharian, dan sistem pertahanan.
Untuk itu, dia menilai, perlu adanya agenda prioritas untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Agenda itu adalah armada berbendera Indonesia, adanya sistem pelayaran tetap, infrastruktur dan logistik.
Di sisi lain juga diperlukan arsitektur manajemen keamanan, kompetensi capacity building, kualitas komunitas maritim, harmonisasi peraturan perundangan dan intelejen maritim.
Adapun, bagi kalangan pengusaha rencana mewujudkan Indonesia sebagai negara poros maritim dunia ataupun mengimplementasikan konsep tol laut dapat dimulai dengan memaksimalkan industri hulu kemaritiman.
Eddy K. Logam, Ketua Umum Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) menuturkan, pemberdayaan industri maritim dapat dilakukan dengan memberikan insentif fiskal bagi galangan nasional.
Sejauh ini, galangan nasional kalah kompetitif dari industri serupa di luar negeri karena PPN dibebani impor komponen sekitar 10% dan cukai 12%.
Dalam catatan Iperindo, sejak diterbitkannya Inpres No. 5/2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional telah mendorong pertumbuhan kapal nasional naik 132,80% atau mencapai 14,064 ribu unit armada dari sebelumnya 6,041 unit.
Dari jumlah tersebut, tidak lebih dari 10% kapal saja yang dibangun di galangan dalam negeri.
“Ini perlu adanya industri pelayaran dan galangan yang kuat,” ujarnya.
Bagi pengusaha pelayaran yang tergabung dalam Indonesia National Shipowners’ Association (INSA) jika konsep tol laut adalah memindahkan angkutan barang dari darat ke laut, sebaiknya pemerintah juga mengoptimalkan pelayaran jarak pendek atau short sea shipping (SSS) yang telah berjalan saat ini.
Ketua Umum INSA Carmelita Hartoto mengatakan, layanan khusus bagi SSS dapat berupa pemberlakuan tarif kepelabuhanan yang lebih murah.
“Biaya repo kontainer dari timur yang saat ini 75% juga seharunya dibebasbiayakan dari tarif di pelabuhan," pintanya.
Sekarang, masyarakat tidak sabar menanti komitmen dan serangkaian aksi pemerintah masa depan yang dinahkodai Joko Widodo dan Jusuf Kalla mewujudkan harapan itu.