Bisnis.com, JAKARTA— Ketua Umum Masyarakat Akuakultur sekaligus pakar maritim Rokhmin Dahuri menilai kinerja sektor perhubungan laut di Indonesia jauh tertinggal dari negara lain yang potensi kelautannya justru lebih rendah.
“Kendati sektor perhubungan laut mengalami kemajuan, tetapi sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang menjadi titik perdagangan [lalu lintas barang] global, sektor ini masih rendah,” tuturnya Jumat (3/10/2014).
Menurutnya, indikator rendahnya kinerja sektor perhubungan laut Indonesia a.l. sejak 1987 kebijakan scraping kapal tua di atas 20 tahun hingga 2010, Indonesia menghamburkan devisa rata-rata US$15 miliar/tahun untuk membayar jasa angkutan kapal asing (ekspor-impor dan angkutan domestik antar pulau).
“Dan sekitar 75% total barang yang diekspor dari Indonesia melalui pelabuhan Singapura ditambah dengan biaya angkutan laut Indonesia sangat mahal,” katanya.
Selain itu, masalah ongkos peti kemas yang masih bermasalah seperti ongkos per kontainer yang mengangkut barang dari Jakarta ke Surabaya dua kali mahal ketimbang dari Singapura ke Los Angles dan ongkos mengangkut jeruk dari Pontianak ke Jakarta Rp1.500/kg. Padahal, ongkos angkut dari China ke Jakarta hanya Rp900/kg.
Adapun kinerja pelabuhan Indonesia pada umumnya masih buruk a.l. dwelling time masih tergolong lama, tingkat keamanan dan kepastian masih rendah, kondisi lingkungan kotor dan jorok, ditambah dengan kapasitas pelabuhan relatif kecil dan kurang produktif serta efisien.
“Dari kapasitas industri galangan pun rendah masih peringkat ke 21 di dunia dan kinerja logistik masih rendah serta biaya logistik termasuk termahal di dunia,” imbuhnya.
Menurut Rokhmin, yang menjadi penyebab rendah kinerja sektor perhubungan laut yaitu dibandingan dengan potensi pasar (volume barang dan penumpang) dan luasnya perairan laut Indonesia, jumlah dan kualitas (produktivitas, efisiensi, dan daya saing) armada kapal nasional Indonesia masih rendah.
Selain itu baik hardware maupun software di pelabuhan Indonesia pada umumnya bermasalah seperti daya saing pelabuhan Indonesia rendah.
Di sisi lain Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak sebagai international hub port ekspor dan impor membuat Indonesia tidak maksimal dalam memanfaatkan asas cabotage yang tertuang dalam UU No. 27/2008 tentang Pelayaran.
Masalah lain mayoritas pengusaha (perusahaan) Indonesia menggunakan FOB saat mengekspor, dan dengan C&F saat mengimpor. Sehingga perusahaan pelayaran nasional kurang pangsa pasar.
“Belum permasalahan logistik dan Short Sea Shipping serta pungli dan premanisme di pelabuhan dan di laut yang masih saat ini belum teratasi,” ujarnya.