Bisnis.com, BANDUNG -- Lima provinsi se-Jawa sepakat menyamakan aksi penertiban angkutan barang yang melalui Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DIY, dan Banten.
Kepala Dinas Perhubungan Jabar Deddy Taufik mengatakan penertiban barang yang digelar sejak 29 September selain lahir dari kesepakatan 5 provinsi juga terkait surat edaran Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan.
Surat edaran tersebut meminta 10 provinsi menggelar penertiban.
“Penertiban efektif 29 September sampai batas waktu yang tidak ditentukan,” katanya di Bandung, Kamis (2/10/2014).
Menurutnya, dalam kesepakatan dan surat edaran, angkutan barang yang melebih tonase yang ditentukan diminta untuk kembali ke tempat asal barang.
Aksi jangka pendek ini dinilai membuat angkutan barang berlebih bisa dihadang dari lima provinsi tersebut.
“Kita balikan ke tempat asal, sekarang aksinya sudah seragam,” katanya.
Penyeragaman ini dilakukan karena ada beberapa perbedaan antarprovinsi terkait pelanggaran angkutan barang.
Dia mencontohkan Banten yang pelanggaran tonase masuk dan dihitung unit penimbangan, sementara Jabar memilih melakukan tilang.
“Itu jadi enggak ada fungsi kontrol yang jelas. Kami melakukan pertemuan dalam beberapa bulan akhirnya ada kesepakatan penindakan,” katanya.
Deddy mengaku, meski sudah seragam penindakan ini masih belum optimal dan bisa diterobos oleh angkutan yang nakal.
Menurutnya angkutan barang dari Jawa Timur ke Jakarta bisa saja memakai jalur yang tidak terlewati jembatan timbang.
Namun, saat masuk ke Jabar dan diminta kembali lagi ke Jawa Timur ini akan menjadi persoalan. “Mereka bisa protes,” katanya.
Dalam jangka pendek ini pihaknya juga mengusulkan agar Dishub di provinsi lain tak hanya menindak di jembatan timbang.
Menurutnya, langkah jemput bola ke tempat bongkar muat juga harus dilakukan agar terdeteksi tonase angkutan barang tersebut.
“Harus mau periksa cek poin di tempat bongkar muatnya. Tapi ini perlu waktu dan pembenahan sistem,” ujarnya.
Dia menilai karakteristik transportasi di Indonesia menuntut pembenahan di hilir, tengah sampai hulu.
Jika di hilir pembenahan terkait ingin menurunkan tingkat polusi, kemacetan dan keselamatan, di tengah diimbangi dengan keberadaan infrastruktur yang layak.
Sementara di hulu ada pemanfaatan ruang yang sesuai. “Kita sekarang operasi di hilir, tapi pergerakannya harus sama-sama dari hulu dan tengah,” katanya.
Di Jabar sendiri pergerakan lalu lintas angkutan barang dari 8 jembatan timbang yang ada, paling banyak di Losarang, Tomo, Gentong dan Balonggandu.
Dari beberapa titik, Deddy mengatakan empat jembatan timbang itu dipantau terus lalu lintas angkutan barangnya.
Sampai 29 September lalu, sudah ada 538 angkutan ditindak.
“Tonase itu harusnya 20 ton, 18 ton, ini masih ada yang ngangkut 40 ton, ini sudah jelas melanggar,” ujarnya.
Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mengatakan jika kesepakatan sudah terjalin, maka penertiban yang dilakukan setiap daerah akan seragam.
Menurutnya jika barang tersebut berasal dari Jawa Timur maka jembatan di sana akan lebih dulu menertibkan muatan.
Sementara jika barang berasal dari Jakarta melewati Jabar, penertiban akan dilakukan pihaknya.
Aher mengakui melakukan penertiban tonase angkutan barang adalah pekerjaan tidak mudah.
Pemprov Jabar beberapa tahun lalu menurutnya sudah melakukan pengetatan di jembatan timbang namun kesulitan terjadi karena lahan yang dibutuhkan untuk gudang tempat penyimpanan barang tidak ada.
“Kalau dibiarkan tidak ada pengawasan, pungutan liar itu akan muncul lagi,” katanya.
Menurut Aher, pihaknya sudah bersepakat dengan Gubernur se-Jawa agar penertiban angkutan barang tidak dikerjakan sendiri-sendiri oleh masing-masing provinsi.
Jalur pantai utara yang melalui 4 provinsi menurutnya menuntut ketegasan dari sisi penertiban angkutan.