Bisnis.com, JAKARTA—Industri bubur kertas (pulp) dan kertas juga ketar-ketir menyikapi ketidakadilan dalam penerapan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Pasalnya kertas impor tak perlu memenuhi standar seperti produk berbasis kayu Indonesia yang dieskpor.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Rusli Tan menilai secara keseluruhan sertifikasi SVLK untuk kertas buatan lokal belum ampuh untuk mendongkrak daya saing di hadapan kertas impor. “Sekarang masih dikriminasi pasar, SVLK tidak berlaku untuk produk impor,” ucapnya saat dihubungi Bisnis, Selasa (23/9/2014).
Jika produsen lokal mematok harga jual ekspor di atas harga domestik bisa-bisa mereka dituding dumping. Produsen yang mau ekspor pun tambah pusing lantaran harus memiliki SVLK, padahal sebelumnya mereka sudah diwajibkan mengurus Forest Stewardship Council (FSC).
Kendati kebutuhan kertas domestik yang berpotensi meningkat 30%, tetap saja produk lokal sulit menggeser barang impor. Kini porsi kertas impor antara 10% - 20% dari kebutuhan bahkan bisa melonjak hingga 30%.
“Selisih harga kertas impor dan lokal sekitar US$10 sampai US$20, impor lebih murah. Kita menjadi tamu di negeri sendiri,” ujar Rusli.
Perang harga dengan kertas impor membawa potensi kerugian bagi industri pulp dan kertas nasional sekitar US$50 per ton. Dengan asumsi produksi pulp di dalam negeri 4 juta ton dan kertas 2 juta ton, maka potensi kerugian mencapai US$300 juta.