Bisnis.com, JAKARTA - Abdul Gani Idang duduk melamun di teras rumah barunya di siang hari yang terik, Kamis (12/6/2014). Tangannya tak lepas dari sebatang rokok. Sesekali, isapan-nya kuat. Tarikan nafasnya pan-jang. Pertanda pusing memikirkan usaha jasa transportasi miliknya yang terancam gulung tikar.
Kekhawatiran itu sebenarnya telah dia perkirakan sejak akhir 2013. Kala pemerintah menerapkan larangan ekspor mineral sebagai konsekuensi menjalankan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara No.4/2009.
Pasalnya, perusahaan miliknya, PT Gita Usaha Madani (GUM) merupakan salah satu dari 367 kontraktor lokal yang nasibnya terkatung-katung akibat pernyataan kahar—tidak bisa memenuhi kontrak akibat kejadian di luar kontrol—dari perusahaan tambang PT Newmont Nusa Tenggara.
Perusahaan asal Amerika Serikat itu, mengumumkan kahar (force majeure) pada 5 Juni 2014. Praktis kontrak usaha jasa milik Abdul Gani yang seharusnya berlaku dari 2012 hingga 2016 tidak jelas.
Bisnis menemuinya di rumahnya di Dusun Sekongkang Bawah, Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat. Dia bercerita bila pihaknya telah menegosiasikan kondisi tersebut kepada Newmont berulang kali.
“Tapi tak ada kabar baik. Newmont bilang sedang alami kahar. Tak bisa ekspor,” ujarnya. Alhasil, usaha dia terhenti. Sejumlah 22 bus parkir beserta 11 mobil 4x4 dan sebuah truk. Bahkan, sebanyak 150 karyawannya dirumahkan sementara.
Padahal, cicilan seluruh kendaraan juga belum lunas. Dia baru membeli seluruh kendaraan pada 2012. “Saya berani ambil kredit [kendaraan] baru karena kontrak [dengan Newmont] hingga 2016 dan tidak mengira akan terjadi seperti ini,” katanya.
Dia mengungkapkan harga bus bervariasi antara Rp900 juta hingga Rp2 miliar. Sementara untuk mobil berkisar Rp402 juta. Uang muka rata-rata 30% sehingga besaran cicilan per unit berkisar Rp9 juta hingga Rp14 juta per bulan.
Sontak, Bisnis menghitung. Hasilnya, Abdul Gani minimal merogoh kocek Rp500 juta per bulan untuk membayar kredit di dua bank swasta. Dia membenarkan. “Setidaknya lebih dari setengah miliar untuk bayar cicilan kendaraan. Belum termasuk untuk gaji karyawan sebesar Rp3,7 juta hingga Rp5 juta per orang per bulan,” ujarnya.
Dia berharap agar pihak perbankan bisa memberi keringanan. Meski dia mengaku pihak bank belum mengetahui masalah tersebut. Pasalnya, angsuran bulan Juni telah dia bayar. Abdul Gani kembali menghitung. Dia hanya sanggup bertahan hingga Juli 2014.
Pasalnya, skema pembayaran yang dia teken dengan Newmont hanya berlaku bila kendaraan yang dimilikinya digunakan oleh Newmont. Namun, tatkala Newmont berhenti operasi maka tidak ada pembayaran dari Newmont.
Menurutnya, seluruh masyarakat Kabupaten Sumbawa Barat khawatir dengan berhentinya penambangan dan pengolahan bijih menjadi konsentrat oleh Newmont.
Dia bercerita bila selama 6 bulan terakhir, terhitung sejak Januari 2014, sektor ekonomi masyarakat tidak bergerak. Baik di Kecamatan Sekongkang, Kecamatan Muluk, hingga Kecamatan Jereweh yang merupakan daerah lingkar tambang, Batu Hijau.
Apa yang diucapkan Abdul Gani benar adanya. Banyak usaha rumah kos-kosan yang kosong. Kalau pun ada yang menempati hanya segelintir orang. Harganya pun rata-rata terpangkas 50%.
Handayani, pemilik salah satu rumah kos di Kecamatan Muluk mengungkapkan bila penghuni kos hanya separuh saja, itu pun karyawannya yang bekerja di warung makan miliknya. “Omzet penjualan warung menurun 50%. Bila keadaan normal [Newmont tetap beroperasi] rata-rata per hari saya bisa megantongi Rp4 juta. Kini hanya mampu meraup maksimal Rp2 juta per hari,” ujarnya.
Pasalnya, warungnya yang terletak di depan kantor camat Muluk merupakan salah satu langganan karyawan Newmont.
Padahal, sejak 5 Juni 2014, Newmont telah merumahkan sementara 80% dari total 4.311 karyawan. Pada tanggal tersebut, New-mont mengeluarkan memoran-dum bernomor 1643/PD-MH/NNT/VI/2014 yang ditujukan ke pada seluruh karyawan dan ditembuskan kepada sejumlah direksi.
MULAI BERHENTI
Isinya, kegiatan pengolahan bijih menjadi konsentrat telah dihentikan sejak Minggu 1 Juni 2014. Selain itu, memorandum itu juga berisi perusahaan memasuki tahap perawatan dan pemeliharaan sebagai rencana darurat.
“Bagi karyawan dengan status stand by [dirumahkan sementara] selama tahap tersebut, akan berlaku efektif mulai Jumat 6 Juni 2014,” tulis Presiden Direktur Newmont Martiono Hadianto dalam memorandum tersebut.
Perusahaan beralasan gudang penyimpanan konsentrat tembaga berkapasitas 90.000 ton telah penuh dan tidak bisa diekspor. Bahkan, Manager Processing and Power Plant Newmont Ilyas Yamin mengungkapkan jumlah konsentrat tembaga yang tersimpan kini mencapai 93.800 ton.
“Setidaknya, sejak Januari 2014, kami telah mengirim konsentrat tembaga 5-6 kali ke PT Smelting di Gresik dengan jum-lah tiap kali pengiriman 8.000 ton konsentrat berkadar 24%-27%. Bila tidak ada pengiriman ke Smelting, mungkin sejak Maret kondisi kahar sudah diberlakukan,” ujarnya.
Kondisi ini akhirnya membuat bos besar Newmont Mining Cor-poration (NEM), induk usaha New mont Nusa Tenggara, Gary Gold berg menemui Men teri Koor-di nator Bidang Perekonomian Chairul Tanjung, Jumat (13/6).
Goldberg mengungkapkan tengah mencari solusi agar anak usahanya PT Newmont Nusa Tenggara, dapat kembali beroperasi secara normal. Newmont tak bisa ekspor konsentrat lantaran surat persetujuan ekspor (SPE) belum dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan. Pasalnya, aturan soal revisi bea keluar ekspor konsentrat belum diteken oleh Kementerian Keuangan.
Harus diakui nasib pelaku usaha lokal seperti Abdul Gani dan juga pelaku usaha kecil seperti pemilik kios-kios di pasar Maluk serta sejumlah pedagang makanan seperti Handayani sangat tergantung dari operasi Newmont. Akankah perusahaan tambang itu beroperasi kembali?