Bisnis.com JAKARTA - Menjelang akhir periode pemerintahan era Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan mempermudah perizinan eksplorasi di sektor migas.
Pasalnya, Kementerian ESDM memprediksi impor bahan bakar minyak pada 2020 mencapai 2,2 juta barel per hari (barel oil per day/BOPD) bila tidak ada penemuan cadangan migas baru.
Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo mengungkapkan bila impor BBM pada 2014 hanya 350.000 BOPD. "Prediksinya, kebutuhan dalam negeri terus meningkat 8% per tahun.
Maka pada 2020, kebutuhan dalam negeri bisa 2,2 juta BOPD," ujarnya seperti dikutip dari situs Kementerian ESDM, akhir pekan lalu.
Padahal, dia memperkirakan produksi minyak pada 2020 hanya 600.000 BOPD. Penurunan ini disebabkan usia sumur-sumur yang kini beroperasi sudah tua sehingga ada penurunan produksi alamiah.
Susilo mengungkapkan impor BBM 350.000 BOPD membutuhkan biaya US$37 juta per hari. Oleh karena itu, dia menilai perlu ada langkah untuk mengantisipasi pembekakan biaya akibat meningkatkan nilai impor BBM.
"Kini pemerintah tengah berupaya mendapatkan cadangan migas baru dengan memberikan kemudahan-kemudahan dan insentif bagi perusahaan yang akan melakukan eksplorasi," ujarnya.
Sementara itu, Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA) Lukman Mahfoedz pernah mengungkapkan bila salah satu hambatan bagi pelaku usaha untuk melakukan eksplorasi adalah pengenaan pajak bumi subsurface.
Pajak ini dinilai memberatkan pelaku usaha khususnya bila dikenakan saat masa eksplorasi. Belum lagi soal banyaknya jumlah perizinan yang harus dilengkapi oleh pelaku usaha. "Untuk itu, saya harap peraturan tersebut diubah," ujarnya.
Beleid itu berupa Perdirjen Pajak No. PER 45/PJ/2013 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi dan Panas Bumi.
"Selain itu, saya harap pengenaan PBB juga hanya di area yang dieksplorasi bukan pada keseluruhan wilayah kerja," ujarnya.
Menurutnya, penurunan pajak ini dengan sendirinya akan mendorong perusahaan eksplorasi untuk menggenjot kinerjanya.
Padahal, modal yang dibutuhkan untuk melakukan aktivitas tersebut setidaknya US$23 juta per tahun.