Bisnis.com, JAKARTA — Strategi Ditjen Pajak yang kurang antisipatif terhadap pertumbuhan ekonomi yang kian melambat, dan penerapan UU Minerba membuat penerimaan pajak tahun ini diprediksi hanya Rp1.010 triliun atau 91%-92% dari target Rp1.110 triliun.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan target penerimaan pajak yang ditentukan pemerintah selama ini tidak jelas. Menurutnya, pemerintah seharusnya memiliki target jangka menengah dalam 5 tahun kedepan.
“Memang yang harus diubah saat ini adalah paradigma tax ratio itu sendiri. Selama ini, pemerintah hanya mematok target penerimaan pajak saja. Lalu, mengulang-ulang kebijakan yang sama dan sistem kerja yang sama. Hasilnya, tidak signifikan,” ujarnya, Kamis (15/5/2014).
Yustinus menilai strategi Ditjen Pajak saat ini kurang antisipatif terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi, sehingga berdampak terhadap rendahnya penerimaan pajak. Padahal, perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan penerapan UU Minerba sudah diprediksi sebelumnya.
Salah satu strategi Ditjen Pajak yang disorot antara lain pemeriksaan masif terhadap sektor-sektor usaha, misalnya real estat, perbankan hingga konstruksi. Menurutnya, langkah Ditjen Pajak tersebut tidak akan signifikan menyumbang penerimaan pajak tahun ini.
“Tentu bisa menyumbang, tapi tidak akan signifikan. Selain itu, hasil dari pemeriksaan itu baru bisa menyumbang penerimaan pada 8-10 bulan mendatang. Nah, ini juga belum termasuk, apabila wajib pajak mengajukan keberatan. Ini bisa tambah setahun lagi,” tuturnya.
Berdasarkan dokumen rapat kerja nasional 2014 Ditjen Pajak yang diperoleh Bisnis, Ditjen Pajak melakukan pemeriksaan secara masih terhadap beberapa sektor usaha, seperti sektor real estat dan perbankan.
Dari sektor real estat, Ditjen Pajak melakukan penyelesaian pemeriksaan SP2 terhadap 7.144 wajib pajak real estat selama tiga bulan pertama 2014. Pemeriksaan sektor real estat tersebut merupakan lanjutan dari tahun lalu, dimana hanya menyumbang penerimaan pajak sekitar Rp200 miliar.
Ditjen Pajak juga melakukan pemeriksaan terhadap 2.160 wajib pajak orang pribadi notaris/PPAT pada Februari-Mei 2014. Kemudian, melakukan pemeriksaan SP2 terhadap 1.330 wajib pajak real estat pada April-Juli 2014.
Di samping itu, dari sektor perbankan, Ditjen Pajak akan melakukan pemeriksaan terhadap 1.154 wajib pajak BPR pada kurun Februari-Mei 2014. Ketika dikonfirmasi terkait sumbangan pemeriksaan terhadap penerimaan pajak, Dirjen Pajak Fuad Rahmany tidak bisa dihubungi.
Yustinus menuturkan Ditjen Pajak seharusnya menerapkan strategi yang benar-benar menyumbang penerimaan atau fresh money. Misalnya, memberikan imbauan atau peringatan kepada sektor usaha, seperti perkebunan atau pertambangan.
“Tetapi untuk melakukan itu, Ditjen Pajak harus punya data awal yang bisa diolah, sehingga dapat menemukan adanya ketidakwajaran. Setelah itu, baru dilakukan penelitian dan memberikan imbauan disana, sehingga mendorong fresh money,” katanya.
Menurutnya, Ditjen Pajak belum menunjukkan prioritas dalam memperoleh data atau informasi yang berpotensi menambah penerimaan pajak, meskipun memiliki kewenangan yang dilindungi UU, yakni pasal 35 dan 35A dalam Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).
Dia berharap presiden yang akan datang dapat mengambil alih kewenangan tersebut, sehingga dapat membuat aturan yang lebih memaksa, terutama bagi kementerian atau lembaga dalam memberikan data atau informasi yang diperlukan oleh Ditjen Pajak.