Bisnis.com, Nay Pyi Taw, MYANMAR – Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) diperkirakan mendatangkan tambahan sekitar US$644 miliar pada 2025 setara 0,6% dari PDB dunia karena aliran deras barang, jasa, investasi dan tenaga kerja di antara partisipan.
Demikian menurut studi yang dilakukan Bank Pembangunan Asia (ADB).
Bagi Indonesia, Dirjen Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo menjelaskan perjanjian kerja sama itu akan mendorong PDB naik lebih dari 1% dalam waktu tertentu.
Menurutnya, Asean tengah mengarahkan agar 16 negara yang akan tergabung dalam RCEP segera menemukan dan mengajukan modalitas dalam mekanisme single schedule. Mekanisme itu memungkinkan pembahasan langsung komitmen umum Asean dan partner tanpa melalui negosiasi bilateral di antara para partner.
Jika modalitas perdagangan barang ini selesai disusun oleh Asean dan partner, Iman yakin pranegosiasi akan cepat menuju proses selanjutnya.
"Saya yakin setelah modalitas untuk barang ini selesai, kita bisa langsung accelerate untuk masuk ke request and offer. Dan, apa yang coba kita bangun untuk goods, mungkin bisa kita pakai untuk services and investment," ujarnya di sela KTT Asean ke-24, Sabtu (10/5/2014).
Iman menuturkan RCEP nantinya akan memberikan perhatian lebih kepada usaha kecil dan menengah. Menurutnya, hal itulah yang membedakan RCEP dengan perjanjian lainnya, misalnya Trans Pacific Partnership (TPP).
RCEP adalah skema ambisius yang diinisiasi pertama kali dalam KTT Asean 2012 di Kamboja. Namun, gagasan itu pertama kali dilontarkan dalam keketuaan Indonesia dalam Asean 2011.
RCEP disebut-sebut sebagai 'mekanisme tandingan' TPP yang juga melibatkan anggota Asean, seperti Singapura, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Malaysia.