Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ratifikasi FCTC Berpotensi Tambah Peredaran Rokok Ilegal, Ini Alasannya

Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menilai ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) tidak menjamin berkurangnya perokok.
tembakau
tembakau

Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menilai ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) tidak menjamin berkurangnya perokok.

Ini sudah teruji secara data dan fakta di berbagai negara yang sudah meneken FCTC. Selain tak bisa menekan konsumsi rokok, FCTC di berbagai negara yang sudah meratifikasi, malah menyuburkan peredaran rokok ilegal.

Data WHO menunjukkan pada 2012 terjadi perdagangan rokok ilegal mencapai 10% dari pasar rokok legal dunia. Kerugian atas perdagangan ini diestimasi mencapai US$30 Miliar atau hampir Rp320 triliun.

Sayang, temuan data dan fakta itu, selalu saja tak dihiraukan pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan.

"Itu data-data industri, herannya selalu ditolak oleh Menkes. Sudah jelas bahwa ketika FCTC diteken justru konsumsi rokok meningkat bukan menurun. Bahkan memicu beredarnya rokok ilegal," tegas Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Hasan Aoni Aziz, Senin (14/4/2014).

Belum lagi regulasi FCTC itu juga pada akhirnya akan mengerek cukai sangat tinggi sehingga berpotensi mematikan industri rokok kecil skala rumahan yang ada di daerah.

"Pasar rokok ilegal akan makin tinggi jika harga rokok di atas keekonomian. Ini data dari WHO, setelah ratifikasi konsumsi rokok tak turun," tandasnya.

Hasan memastikan, kalangan industri sudah kompak akan melawan jika pemerintah tetap ngotot mengaksesi FCTC. Pengusaha akan memakai berbagai jalur legal untuk melawan.

"Jika diterapkan, industri akan melawan, tentu melawan melalui institusi legal dan lebih terbuka, karena ini menyangkut hajat hidup. Kalau sedemikian rupa akan mematikan kami, kami akan menggunakan cara regulatif dengan saluran yang ada. Kami minta pemerintah lebih arif, jangan memaksakan," tandasnya.

Berdasarkan data dari Gappri, pada 2011 jumlah pabrik rokok mencapai 2.540 pabrik, kemudian pada 2012 turun menjadi 1.000 pabrik, sedangkan tahun 2013 turun lagi menjadi 800 pabrik dengan jumlah pekerja yang juga mengalami penurunan secara bervariasi.

"Dari 800 pabrik, hanya 100 pabrik aktif, sisanya hampir kolaps," tegasnya.

Sementara itu, Sulami Bahar, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya, menilai pemberlakukan ratifikasi jelas mengancam industri padat karya terutama industri rokok di daerah.

Menurutnya, PP 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif semestinya sudah cukup karena regulasi itu sudah sangat ketat. Tidak perlu lagi ada aturan tambahan dengan ratifikasi FCTC.

"Pemberlakukan PP itu saja sudah berdampak, apalagi meratifikasi FCTC. Akan ada banyak kesulitan sehingga kami dengan tegas menolak," kata Sulami

Pihaknya juga mengingatkan agar Kemenkes melihat situasi dengan jernih kondisi ekonomi sekarang yang tengah lesu. Alhasil, tidak perlu lagi ada kebijakan yang membuat industri makin suram.

"Ratifikasi FCTC juga akan berdampak pada maraknya rokok ilegal, ini selain lebih berbahaya bagi konsumen juga negara tidak akan mendapat apa-apa. Kemenkes jangan suka meniru aturan asing," tegas Sulami.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Sepudin Zuhri
Editor : Sepudin Zuhri

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper