Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

HARI NELAYAN: Praktik Liberalisasi Mengebiri Hak Nelayan Tradisional

Kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan nasional dinilai mengarah pada praktik liberalisasi dan mendiskriminasi nelayan tradisional.

Bisnis.com, JAKARTA—Kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan nasional dinilai mengarah pada praktik liberalisasi dan mendiskriminasi nelayan tradisional. Asing dianggap diberi porsi leluasa, sementara nelayan terus dikebiri hak-hak konstitusionalnya.

Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), mengatakan ironisnya, praktik ini terjadi sudah sejak kebijakan nasional dirumuskan. Itulah koreksi yang harus dilakukan para pemimpin bangsa di Hari Nelayan Indonesia yang diperingati tiap 6 April.

“Kebijakan pengelolaan sumber daya laut sudah kebablasan campur tangan asing,” ujar Abdul dalam keterangan resmi, Minggu (6/4/2014)

Sebaliknya, implementasi program perlindungan dan pemberdayaan nelayan hanya basa-basi dan menciptakan relasi ketidakadilan ala kolonial, buruh-majikan (pemilik kapal/tuan tanah dengan nelayan tak berkapal/pembudidaya gurem). “Contohnya adalah demfarm dan 1.000 kapal Inka Mina,” ungkapnya.

Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat dua fakta campur tangan asing paling mencolok: pertama, asing diberi keleluasaan untuk memanfaatkan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya di dalam Pasal 26A ayat 1 UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Padahal sudah ada koreksi dari Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kedua, Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil bersama dengan LIPI sebagai institusi pelaksana membebani keuangan Negara dengan berhutang sebesar US$47,38 juta atau setara dengan Rp534,162 miliar.

Utang sebesar itu berasal dari Bank Dunia atas nama Program Rehabilitasi dan Manajemen Terumbu Karang (Coral Reef Rehabilitation and Management Program/Coremap) berlaku sejak Juli 2014-Maret 2019.

Padahal, BPK sudah menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja atas Perlindungan Ekosistem Terumbu Karang 2011 s.d Semester 2012 pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Atas pemeriksaan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Wilayah Provinsi Kepulauan Riau dan Sulawesi Selatan dinyatakan bahwa program tidak efektif/gagal dan terjadi banyak kebocoran dana.

Berkaca pada kedua fakta di atas, tambah Halim, jelas bahwa amanah UUD 1945 dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan diselewengkan oleh kolaborasi oknum birokrasi dan lembaga ilmu pengetahuan.

Karena dengan semangat gotong royong berbasis kearifan lokal, kolaborasi pemerintah dan masyarakat nelayan berbasis konstitusi, dan bebas hutanglah, kekayaan laut yang dimiliki bangsa Indonesia dapat menghadirkan kesejahteraan nelayan.

“Sebaliknya, menempatkan nelayan dan perempuan nelayan sebagai turis di laut Nusantara akan berakibat pada konflik,” tukas Abdul.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Giras Pasopati
Editor :

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper