Bisnis.com,JAKARTA - Industri sepatu kulit dalam negeri mengeluhkan kelangkaan bahan baku karena sejumlah regulasi dari pemerintah. Akibatnya, tidak sedikit perusahaan sepatu kulit terpaksa mengurangi produksi, bahkan sebagian gulung tikar.
Kelangkaan bahan baku kulit dirasakan pelaku industri ini sejak adanya Keputusan Presiden No. 40/1997 yang menyatakan bahwa kulit mentah hanya bisa diimpor dari negara-negara yang bebas penyakit hewan menular yang masuk dalam daftar A dari Office International des Epizootis (OIE). Sejak aturan ini berlaku, impor produk hewan ke Indonesia dilakukan di bawah pengawasan ketat dengan tujuan untuk mencegah penularan atau pemasukan penyakit menular seperti penyakit mulut dan kuku (PMK) serta rinderpest.
Tidak hanya itu, Undang-undang (UU) No. 6/1992 yang mewajibkan setiap impor komoditi hewan untuk wajib menjalani pemeriksaan. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah No. 82/2000 Pasal 30 tentang Karantina Hewan, yang memberikan kewenangan untuk menolak apabila hewan berasal dari negara atau area yang dilarang.
Pengurus Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) wilayah Jawa Timur Ali Mas’ud mengatakan sekarang pelaku industri sepatu kulit kelabakan mendapat bahan baku.
“Untuk mendapatkan bahan baku [kulit] susah sekali. Ini terjadi sejak adanya regulasi ketat dari pemerintah,” ujar Ali Mas’ud kepada Bisnis, pekan lalu.
Ali mengatakan pelarangan impor kulit dari negara tertentu membuat pelaku industri mati suri. Satu sisi, kebutuhan bahan baku kulit dalam negeri sebesar 5 juta lembar, sedangkan produksi dalam negeri hanya mampu menyediakan 2 juta lembar. Jadi, kekurangan 3 juta lembar itu mestinya impor. Namun demikian, katanya, kekurangan pasokan kulit dalam negeri hanya terpenuhi 400.000 lembar karena adanya sejumlah regulasi dari pemerintah.
“Kami kekurangan bahan baku, tapi impor dilarang. Terus industri harus berbuat apa?” ujarnya.