Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Menyerah Tangani Konflik Suku Anak Dalam?

Pemerintah memberikan sinyal menyerah untuk menuntaskan konflik Suku Anak Dalam (SAD) di Jambi terkait dengan dugaan kepentingan sektor perkebunan kelapa sawit dalam perekonomian di Tanah Air.
Greenpeace sebelumnya mendesak Wilmar International menghentikan pembelian minyak sawit dari PT Asiatic Persada, milik Ganda Group, terkait dengan tewasnya petani Jambi pada 5 Maret 2014. /bisnis.com
Greenpeace sebelumnya mendesak Wilmar International menghentikan pembelian minyak sawit dari PT Asiatic Persada, milik Ganda Group, terkait dengan tewasnya petani Jambi pada 5 Maret 2014. /bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah memberikan sinyal menyerah untuk menuntaskan konflik Suku Anak Dalam (SAD) di Jambi terkait dengan dugaan kepentingan sektor perkebunan kelapa sawit dalam perekonomian di Tanah Air.

Hal itu mencuat dalam pertemuan yang dilakukan tujuh perwakilan maupun warga SAD sendiri  di kantor Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pada 09.45-13.00 WIB, Jakarta Pusat. Perwakilan itu adalah Serikat Tani Nasional (STN), Partai Rakyat Demokratik (PRD), dan warga SAD.

Yoris Sindhu Sunarjan, Ketua STN, memaparkan pihaknya menemui anggota Wantimpres, Siti Fadilah Supari yang didampingi empat staf ahlinya. Dalam pertemuan tersebut, paparnya, Wantimpres hanya sekadar akan memfasilitasi persoalan logistik, namun tidak akan menuntaskan konfliknya.

"Melihat situasi politik hari ini, untuk mendapatkan hasil maksimum [untuk warga SAD] akan kecil potensinya," kata Yoris, menirukan apa yang disampaikan Siti Fadilah, seusai pertemuan tersebut kepada Bisnis.com di kantor Wantimpres. "Melihat skala investasi yang terlibat, disinyalir akan memengaruhi struktur perekonomian negara di sektor perkebunan."

Yoris memaparkan masih mengutip Siti Fadilah, yang akan dilakukan Wantimpres hanyalah mengatasi masalah darurat yang dimiliki warga SAD, macam minimnya logistik dengan berkoordinasi dengan kementerian terkait, namun bukan pada penuntasan konflik.

Sebanyak lebih dari 100 warga SAD kini masih tinggal di tenda-tenda darurat, menumpang di rumah kerabat atau teman, karena tak memiliki rumah sendiri. Rumah mereka diketahui telah dirobohkan oleh aparat keamanan, termasuk pihak keamanan perusahaan pada Desember lalu.

Dalam pertemuan tersebut terungkap, walaupun Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Badan Pertanahan Nasional (BPN) sudah melakukan upaya untuk menyelesaikan konflik, namun perseteruan warga dan perusahaan belum tuntas hingga kini.

Salah satu rekomendasi adalah pengembalian lahan seluas 3.550 hektare kepada warga SAD, yang tak pernah dilaksanakan oleh perusahaan.

"BPN sudah masuk, Komnas HAM, kepolisian dan Kompolnas, namun rekomendasi untuk pengukuran lahan 3.550 hektare itu tidak pernah berjalan," demikian Yoris, masih mengutip anggota Wantimpres tersebut.

Ketika dikonfirmasi melalui pesan pendek yang dikirimkan Bisnis, Siti Fadilah tidak merespons hingga berita ini diturunkan. Pada September 2012, tim Wantimpres pernah mendatangi warga SAD terkait dengan upaya penyelesaian konflik antara warga dengan PT Asiatic Persada. Namun hingga kini konflik itu tak terselesaikan.

PT Asiatic Persada,  mulanya  dimiliki oleh Wilmar International sejak  2006.  Namun pada awal 2013, dimiliki oleh PT Agro Mandiri Semesta  (AMS) di bawah kendali Grup Ganda. Kelompok bisnis itu dimiliki oleh Ganda Sitorus, saudara kandung Martua Sitorus, salah satu pemilik Wilmar International.

PT AMS punya lahan sekitar 250.000 hektare yang berlokasi di Sumatra Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat dan Marauke, Papua.

Agus Pranata, Deputi Pendidikan Serikat Tani Nasional (STN), yang mendampingi warga SAD di Jambi, mengatakan sinyalemen ketidakmampuan pemerintah kali ini akan membawa preseden buruk dan berpotensi akan menimbulkan lebih banyak konflik agraria di masa mendatang.

"Ketidakmampuan itu menyangkut kewibawaan pemerintah, karena banyaknya perusahaan yang tak memiliki itikad baik," kata Agus, yang juga ikut dalam pertemuan dengan Wantimpres. "Perusahaan akan semena-mena, dan negara absen untuk melindungi kepentingan rakyat."

Greenpeace sebelumnya mendesak Wilmar International menghentikan pembelian minyak sawit dari PT Asiatic Persada, milik Ganda Group, terkait dengan tewasnya petani Jambi pada 5 Maret 2014.

Desakan itu terkait dengan kematian petani Jambi, Puji bin Tayat akibat dugaan penyiksaan oleh aparat TNI dan pihak keamanan perusahaan pada Rabu (5/3/2014) lalu. Kasus itu merupakan masalah konflik agraria yang terjadi antara PT Asiatic Persada, yang kini dimiliki Ganda Group.

Annisa Rahmawati, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, mengatakan Ganda Group memiliki hubungan bisnis dengan Wilmar International.

Masing-masing pun dimiliki oleh 2 saudara, yakni Martua Sitorus dan Ganda Sitorus. PT Asiatic Persada mulanya dimiliki oleh Wilmar International sejak 2006, namun sejak awal tahun lalu dimiliki oleh PT Agro Mandiri Semesta  (AMS) di bawah kendali Ganda Group.

"Kami mendesak Wilmar berhenti membeli dari konsesi apa pun di bawah Ganda Group. Kelapa sawit yang berasal dari perusahaan dalam praktik seperti ini seharusnya tidak diperbolehkan masuk pasar," kata Annisa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Anugerah Perkasa
Editor : Fatkhul Maskur
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper