Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Agama menghendaki pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal tetap melibatkan ulama. Pasalnya, ulama dinilai mengenai kehalalan suatu produk.
Dirjen Bimas Islam Kemenag Abdul Djamil menerangkan jika diberi kewenangan sebagai penyelenggara sertifikasi halal, pemerintah tidak akan meninggalkan ulama.
“Kalaupun penyelenggara itu pemerintah, kami harap tak akan meninggalkan ulama karena menyangkut soal halal dan haram,” tegas Abdul Djamil seperti dilansir www.kemenag.go.id, Jumat (28/2/2014).
Pembahasan RUU Jaminan Produk Halal hingga kini belum juga selesai. Padahal, pembahasan itu telah diusulkan menjadi RUU sejak 2006.
Molornya pembahasan RUU JPH dikarenakan terdapat perbedaan pandangan baik dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemerintah, dan kalangan pebisnis terkait.
Selain itu, beberapa pihak masih memperdebatkan lembaga yang berwenang untuk menerbitkan kehalalan suatu produk, apakah pemerintah, MUI, atau lembaga lain.
Menurut Abdul Djamil, perbedaan pendapat itu wajar tapi seharusnya tidak lagi bersifat polemik. Djamil menilai pembahasan RUU ini sudah cukup lama, khususnya yang menyangkut soal krusial siapakah yang menjadi penyelenggara.
Djamil mengusulkan agar penyelesaiannya dikembalikan pada tugas dan fungsi masing-masing secara proporsional.
“Saya rasa jangan diperuncing lagi soal siapa yang punya wewenang. Penyelesaiannya lebih menekankan pada tugas dan fungsi para pihak secara proporsional dan fungsional,” kata Djamil.
Menurut Djamil, mengurus soal administrasi sertifikasi halal memang merupakan bagian dari tugas dan fungsi pemerintah. Sedangkan mengenai fatwa memang merupakan kewenangan ulama.
“Pemerintah kalau mengurus soal administrasinya itu memang bagian dari tugas dan fungsinya, sedangkan ulama soal fatwanya. Jadi kalaupun penyelenggara itu pemerintah, tak akan meninggalkan ulama karena menyangkut soal halal dan haram,” peran Djamil.