Bisnis.com, JAKARTA - Sistem open access dan unbundling pada pipa gas dinilai akan mendongkrak harga jual ke konsumen.
Ketua Pusat Stusi Energi Universitas Gadjah Mada Deenderlianto menyebutkan berdasarkan analisis atas 40 disertasi doktoral yang di diterbitkan di jurnal internasional menyimpulkan open access dan unbundling pada pipa gas justru akan mendongkrak harga jual ke konsumen.
"Berdasarkan hasil analisis historis di negara-negara Eropa, ternyata terdapat korelasi positif antara penerapan open access dan unbundling pada kenaikan harga gas” kata Deendarlianto.
Hal tersebut diungkapkan Deenderlianto dalam Seminar Nasional dengan tema Quo Vadis Tata Kelola Gas Bumi di Indonesia pada Selasa (26/2) di Kampus UI Salemba, Jakarta. Di samping itu, open access dan unbundling juga memicu fluktuasi dan ketidakstabilan harga jual gas.
“Pada negara yang menerapkan open access dan unbundling, kenaikan harga jual gas ditentukan oleh mekanisme pasar, sehingga menyebabkan fluktuasi yang memicu ketidakstabilan harga,” kata Deen.
Kondisi fluktuasi ini semakin parah manakala dipicu kondisi abnormal seperti musim dingin yang ekstrem, serangan teroris dan lainnya. “Fakta yang ditemukan, pada tanggal 1 Januari 2014, Amerika Serikat mengalami musim dingin yang ekstrem dan membuat harga gas melonjak drastic,” Deendarlianto menambahkan.
Berkebalikan dengan kondisi tersebut, hasil analisis ilmiah pada negara–negara yang tidak menerapkan open access dan unbundling, misalkan Rusia dan Thailand, ternyata harga gas justru jauh lebih murah dibandingkan negara yang menerapkan open access dan unbundling.
Untuk kasus Rusia, negara yang termasuk pemilik cadangan minyak dan gas bumi lima terbesar dunia, temuan dari ahli energi UGM ini menunjukan bahwa Rusia melakukan ekspor gas ke Eropa dengan harga yang tinggi, karena terindeksasi dengan harga minyak.
Kemudian keuntungan ekspor ini mensubsidi harga gas domestik sehingga menjadi lebih murah. Harga gas di Rusia tidak ditentukan mekanisme pasar tapi ditentukan oleh pemerintah. Fluktuasi harga pun tidak terjadi pada negara yang tidak menerapkan open access. “Harga gas di negara yang tidak menerapkan open access dan unbundling terbukti lebih stabil”, kata Deen.
Deendarlianto menambahkan, Indonesia masih miskin infrastruktur gas, terbukti dari hasil pengukuran indeks infrastruktur gas Indonesia yang dilakukan oleh Pusat Studi Energi UGM. Indeks panjang jaringan gas bumi di Indonesia hanya sebesar 6,4 km/m2. Indeks infrastruktur ini merupakan perbandingan antara panjang pipa dengan luas area.
“Dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia masih tertinggal jauh. Kita hanya memiliki sekitar 6,4 km/m2 pipa gas, sedangkan Thailand indeks infrastrukturnya mencapai 11 km/m2 dan Malaysia sebesar 19 km/m2,” katanya.
Indonesia, kata Deen, masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk merealisasikan pembangunan infrastruktur gas bumi dalam rangka memperluas dan meningkatkan pemanfaatan gas bumi domestik.
“Saat ini Indonesia hanya memiliki sekitar 12 ribu km pipa gas atau baru 20% dari seluruh panjang pipa yang direncanakan dalam Rencana Induk”, kata Jobi Triananda, Direktur Pengusahaan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN), salah satu narasumber dalam acara tersebut.
Jobi menyampaikan bahwa salah satu penyebab terhentinya pengembangan infrastruktur gas adalah aturan tata kelola gas bumi yang menimbulkan tidak sinkronnya pasokan, infrastruktur dan pasar.
“Pasokan Gas Bumi dialokasikan kepada pihak yang tidak memiliki infrastruktur, sehingga pengembangan ke area baru menjadi terhambat” kata Jobi. Lambatnya pengembangan infrastruktur gas inilah yang kemudian memicu ekspor gas karena produksi gas bumi tidak dapat menunggu, harus dialirkan segera setelah proses produksi berjalan.
Hal senada disampaikan oleh praktisi lain yang juga merupakan mantan anggota komite BPH Migas. Jugi Prajogio, Direktur Utama PT Pertagas Niaga, menyampaikan bahwa keterlambatan pembangunan infrastruktur gas karena skema open access dan harus melalui tender yang prosesnya panjang dan lama.
Contohnya adalah pipa transmisi Kalija, Gresik–Semarang dan Cirebon–Semarang yang tendernya tahun 2006 namun setelah 8 tahun di tahun 2014 ini tidak ada satupun yang terbangun. “Lambatnya pengembangan jaringan pipa gas tersebut terjadi karena harus melalui proses lelang yang memakan waktu lama”, kata Jugi.