Bisnis.com JAKARTA – Pemerintah menegaskan tak akan ada kompromi terkait kewajiban pelaku usaha untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri untuk bisa ekspor konsentrat, mineral tanpa pemurnian.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo mengatakan pemerintah akan menjalankan Undang-Undang No.4/2009 secara konsisten. Menurutnya, pelaku usaha yang berlisensi kontrak karya sekelas PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara masih bisa ekspor konsentrat. Hanya saja, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh kedua perusahaan asal Amerika Serikat itu.
“Mereka harus memiliki komitmen untuk membangun smelter. Kemudian untuk mendapatkan surat izin rekomendasi ekspor dari pemerintah, mereka juga harus menyerahkan roadmap yang jelas untuk membangun smelter,” katanya seperti dikutip dari situs resmi Kementerian ESDM, Selasa (11/2/2014).
Menurutnya, daripada pelaku usaha ribut soal permintaan yang beraneka ragam, lebih baik mereka memenuhi dulu syarat dari pemerintah, karena kewajiban ini sudah tidak bisa ditawar lagi. “Kalau tidak memenuhi itu ya tutup,” ujarnya.
Sebelumnya berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No.1/2014 tentang Implementasi Peningkatan Nilai Tambah Mineral, pemerintah masih mengijinkan 6 produk mineral olahan tanpa pemurnian alias konsentrat untuk bisa diekspor.
Keenam komoditas mineral itu adalah bijih besi, pasir besi, mangan, tembaga, timbal dan seng. Hanya saja pengusaha harus memenuhi sejumlah kriteria, termasuk pembayaran uang jaminan pembangunan smelter sebesar 5% dari belanja modal.
Sementara itu, PT Freeport Indonesia telah menggandeng PT Aneka Tambang untuk melakukan studi kelayakan pembangunan smelter tembaga yang masih mempertimbangkan 4 lokasi. Perusahaan yang dipimpin Rozik B. Sutjipto itu mengklaim proyek ini akan memiliki total nilai investasi mencapai US$2,2 miliar.
Di sisi lain, PT Newmont Nusa Tenggara menyatakan ketidaksanggupannya untuk membangun smelter sendiri karena jumlah pasokan konsentrat yang pihaknya hasilkan maksimal hanya 600.000 ton per tahun.
Perusahaan yang dipimpin Martiono Hadianto tersebut mempertanyakan kontinuitas pasokan konsentrat. Selain itu, pihaknya juga menilai pembangunan smelter tidak ekonomis.