Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah bersikukuh menerapkan bea keluar progesif terhadap produk mineral tanpa pemurnian alias konsentrat yang akan diekspor meski terancam menyalahi kontrak bagi para pemegang Kontrak Karya (KK) pertambangan.
Pasalnya, dalam perjanjian kontrak karya pertambangan, tidak menyebutkan satu pun soal bea keluar apalagi bea keluar progesif, sehingga apabila pemerintah menerapkan bea keluar progesif, bukan tak mungkin ancaman pengadilan arbitrase menanti.
Direktur Pengusahaan dan Pembinaan Mineral Ditjen Mineral dan Batubara Dede I. Suhendra mengatakan bila ada hukum yang lebih berpihak kepada kontraktor, maka pemerintah wajib untuk meluruskan hukum itu.
“Apalagi kepada kontraktor yang sudah puluhan tahun kontraknya dan tidak mau naik harga sewanya,” katanya kepada Bisnis, Minggu (26/1/2014).
Menurutnya, peraturan perundang-undangan seharusnya tidak boleh berpihak kepada siapapun dan harus berlaku adil. Dia mempertanyakan premis yang mengatakan hukum kontrak lebih tinggi dari undang-undang yang telah berlaku kurang lebih selama 5 tahun tersebut.
Sementara itu, Dirjen Minerba R. Sukhyar menilai bila perusahaan tetap bisa ekspor konsentrat maka pelaku usaha wajib membayar BK progresif tersebut. Selain itu, pelaku usaha diminta untuk memenuhi sejumlah kriteria, termasuk keseriusan melakukan pemurnian pada 2017.
“Kami belum lihat keseriusan pemegang KK untuk melakukan itu [pemurnian],” katanya.
Namun, hingga kini pihaknya masih menunggu Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) dari pemegang KK. Hanya saja jelasnya, jangan sampai produk-produk mineral lain terkendala dalam ekspor konsentrat terkait dengan penolakan KK untuk berkomentar dalam pembahasan harga patokan mineral (HPM). “Ya pemegang KK ditinggal saja.”