Bisnis.com, JAKARTA - Kabar soal kemungkinan Toyota Motor Corporation (TMC) mengalihkan investasinya di Thailand ke Indonesia mengemuka beberapa hari terakhir.
Pemerintah RI menilai ini tak bisa diputuskan sekejap mengingat investasi adalah perkara bisnis jangka panjang.
Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kementerian Perindustrian (Dirjen IUBTT Kemenperin) Budi Darmadi tak mengiyakan ataupun menampik ketika dikonfirmasi soal kesahihan kabar tersebut.
"Kalau rencana detail investasi itu [menjadi urusan] masing-masing perusahaan otomotif. Untuk pindah pabrik tidaklah gampang. Gejolak di Thailand disebabkan politik, jadi kami belum tahu," kata kepada Bisnis, akhir pekan lalu.
Menurut Budi, untuk memutuskan kelanjutan investasi suatu perusahaan otomotif sekelas Toyota bukan cuma mempertimbangkan gejolak politik di negara bersangkutan. Perlu dipertimbangkan pula ialah cakupan pasar dari model kendaraan yang diproduksi.
Apapun gejolak yang terjadi di Negeri Gajah Putih, baik politik maupun ekonomi, bakal mengusik produsen otomotif yang meletakkan basis produksinya di sana. Pasalnya, negara ini merupakan markas manufaktur mobil terbesar untuk tujuan ekspor di Asia Tenggara.
Penjualan mobil sekitar 2,5 juta unit per tahun dan menyumbang sedikitnya 10% produk domestik bruto Thailand. Sejumlah produsen mobil menanamkan kapitalnya sejak beberapa dekade terakhir, mayoritas berasal dari Jepang.
"Menetapkan suatu negara sebagai basis produksi setidaknya mempertimbangkan 4 hal, yaitu SDM atau tenaga kerja terampil, situasi ekonominya stabil dan politik, potensi market ekspornya, serta pasar domestik," ujar Budi.
Misalnya, suatu prinsipal hendak mengekspor produknya ke Amerika Latin maka perusahaan akan mencari lokasi pabriknnya di negera yang tak jauh dari kawasan itu. Setelah itu, sebelum memutuskan pengalihan investasi ke negara lain penting untuk memikirkan pamor kendaraan.