Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Kayu Gergajian dan Kayu Olahan Indonesia (ISWA) mengeluhkan kurangnya bahan baku kayu alam akibat rendahnya realisasi tebangan dari industri hulu.
Bhakti Sadeli, Anggota ISWA bidang Pemasaran dan Promosi, mengatakan industri ini menyerap 9,3 juta m3 kayu bulat/tahun. Dari konsumsi bahan baku tersebut, sebanyak 3,2 juta m3 merupakan kayu hutan alam dan 6,1 juta m3 merupakan kayu hutan tanaman.
"Semakin lama, industri semakin bergantung pada kayu hutan tanaman, karena produksi kayu log alam rendah tidak sampai 5,5 juta m3/tahun padahal jatah tebangan lestarinya bisa sampai 14 juta m3/tahun," tuturnya dalam workshop Hasil Kajian Kebijakan Ekspor Kayu Bulat hari ini, Rabu (11/12/2013).
Bhakti menuturkan komponen kayu alam dalam produk sawmill dan wood working yang diekspor terus merosot. Pada 2008, komponennya masih mencapai 65%, lantas turun menjadi 50% pada 2010, dan 34% pada tahun ini.
"Industri kekurangan kayu alam, mau tidak mau bahan baku dari hutan tanaman. Kami bahkan harus impor kayu-kayu bagus, seperti Okoume dari Afrika dan Oak yang harganya US$700-1.000/m3," kata Bhakti.
Kesulitan bahan baku tersebut dialami hampir semua anggota ISWA. Pasalnya, tidak banyak anggota yang memiliki konsesi hutan alam atau pemegang izin hak pengusahaan hutan (HPH).
Terbatasnya bahan baku berkualitas, lanjutnya, menyulitkan industri dalam meningkatkan harga jual produk dan berujung pada rendahnya daya saing produk di pasar global.
"Ada produksi tetapi tidak sampai ke industri. Dengan bahan baku yang ada sulit untuk meningkatkan nilai ekspor," imbuhnya.