Bisnis.com, JAKARTA - Akibat pelemahan rupiah yang terjadi hingga kini, pertumbuhan industri baja tahun depan diperkirakan stagnan.
Pasalnya, sebagian besar industri memilih wait and see dan melakukan pengereman impor bahan baku.
Direktur Eksekutif Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Edward Pinem mengatakan pertumbuhan industri baja tahun depan sangat bergantung pada pertumbuhan ekonomi.
Bila pertumbuhan ekonomi berada di bawah 6%, kemungkinan pertumbuhan industri baja di bawah itu. Sementara itu, bila pertumbuhan ekonomi sampai pada angka 7%, pertumbuhan industri ini bisa melebihi hingga 8%.
“Tetapi rasanya sulit ya, kemungkinan pertumbuhan ekonomi sama dengan tahun ini [perkiraan 5,8%]. Hal ini tentunya sama dengan industri baja, stagnan di bawah 6%,” kata Edward ketika dihubungi Bisnis, Senin (9/12/2013).
Pada sisi lain, Edward mengatakan kondisi ekonomi, baik di dalam maupun di luar negeri membuat konsumen cenderung wait and see, karena menunggu harga stabil. Dia memberi contoh, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini sedang tidak bisa diprediksi. Padahal, bagi industri yang sangat mengandalkan impor bahan baku seperti industri baja, pelemahan rupiah sangat berpengaruh.
“Bila bisa diprediksi misalnya selama 4 bulan, nilai tukar berada pada posisi Rp12.000, itu bisa diterima. Namun, kalau nanti berubah ke angka Rp11.000 atau naik lagi, itu menyulitkan nanti di penjualan akhirnya,” jelas dia.
Oleh sebab itu, sebagian besar pengusaha memilih wait and see melihat perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Hal ini juga berdampak pada pengereman impor bahan baku. “Ya pasti impor akan ditahan, kondisi sedang tidak menentu seperti ini.”
Dia memperkirakan, penjualan baja tahun depan kemungkinan masih sama dengan tahun ini yaitu 7 juta ton, dengan posisi margin/keuntungan yang lebih kecil. “Awal tahun depan mungkin lesu karena orang cenderung menunggu harga untuk turun dulu. Jadi tahun depan tidak naik, tidak juga turun, tapi kalau dari sisi margin pasti lebih kecil,” katanya.
Bila rupiah terus melemah, margin yang diterima produsen akan semakin sedikit. Di sisi lain, kondisi ekonomi Amerika Serikat turut mempengaruhi pertumbuhan industri baja dalam negeri.
Dia menceritakan dampak dari pelemahan rupiah yang sempat menembus Rp12.000 per dolar AS pada akhir November dan awal Desember belum begitu berpengaruh karena sebagian besar kontrak baja sudah ditandatangani sekitar 1,5 bulan lalu dan sekarang hanya tinggal pengiriman saja.
Adapun, untuk pertumbuhan investasi, Edward memprediksi pertumbuhan juga masih stagnan. Hal ini disebabkan belum adanya pabrik baru yang akan beroperasi sehingga jumlah produksi masih sama dengan tahun lalu. Penjualan baja tahun depanakan bergantung pada pembangunan infrastruktur. “Pertumbuhan industri baja tidak akan jauh-jauh dengan pertumbuhan industri semen, kemungkinan akan sama.”
Bila pemerintah giat melakukan pembangunan infrastruktur, ada kemungkinan penjualan akan melebihi 7 juta ton. “Tergantung pemerintah, kalau banyak proyek infrastruktur maka akan bisa bertambah tahun depan,” katanya.
Dirjen Basis Industri Manufaktur Kemenperin Benny Wachjudi optimistis industri baja nasional akan mencatatkan pertumbuhanyang cukup tinggi, yakni mencapai 8%. Hal ini beroperasinya pabrik PT Krakatau Posco bulan ini. Menurutnya, dengan beroperasinya pabrik patungan ini akan menambah cadangan hingga 3 juta ton.
Saat ini, produsen baja tanah air terpukul karena adanya pelemahan rupiah yang terus terjadi dalam beberapa pekan terakhir. Meski demikian, dia tetap optimistis. “Ketergantungan pada bahan baku impor pada tahun depan setidaknya akan tergantikan dengan produksi bahan baku oleh PT Krakatau Posco,” kata dia.