Bisnis.com, JAKARTA - Federasi Pengemasan Indonesia (FPI) mengatakan kenaikan omzet industri kemasan tahun ini tidak sesuai dengan target awal tahun 2013. Hal ini disebabkan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Direktur Eksekutif Federasi Pengemasan Indonesia (FPI) Hengky Wibawa mengatakan target tahun ini omzet industri naik 10% dari estimasi Rp56 triliun. Namun kenyataannya, kenaikan omzet hanya mencapai 6% atau Rp59 triliun. ”Sekarang saja kondisi ekonomi Indonesia tidak mencapai 6%. Jadi wajar jika omzet kami hanya 6%, jadi jelas tidak sesuai target,” jelas Henky kepada Bisnis, Minggu (1/12/2013).
Henky menjelaskan penurunan omzet tidak lepas dari melemahnya nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS. Selain itu, seluruh pembelian bahan baku kemasan dihargai dalam dolar AS.
“Bahan baku semua dihargai dengan dolar AS. Sedangkan dalam penjualannya menggunakan rupiah. Ketika rupiah melemah maka kami merugi karena salah perhitungan pada saat menawarkan ke customer,” kata Henky.
Dampak kerugian industri kemasan akibat kenaikan dolar AS terhadap rupiah, sambung Henky, mencapai 25%-30% dari awal tahun 2013 hingga sekarang. Pihaknya mempertanyakan penerapan UU No 7/2011 tentang Mata Uang. Dimana isinya mengatur kewajiban penggunaan rupiah dalam setiap transaksi dan ancaman hukuman jika melakukan pelanggaran.
Akan tetapi dalam implementasinya, kata dia, Pertamina sebagai perusahaan milik negara pun masih menggunakan dolar AS dalam transaksi.
”Di Indonesia ini UU hanya dibuat tapi tidak pernah dilaksanakan. Terus apa gunanya dengan adanya UU tersebut. Selama ini transaksi menggunakan dolar AS meskipun itu proses produksi dalam negeri,” ujar dia.
Kendati tahun ini tidak sesuai dengan target, Henky optimis pada 2014 omzet akan naik menjadi Rp62 triliun. ”Biasanya di tahun pemilu pengeluaran bertambah banyak. Harapannya daya beli masyarakat meningkat,” papar dia.
Selain itu, kata dia, prediksi pada tahun mendatang pertumbuhan barang konsumsi yang cukup pesat adalah makanan dan minuman (mamin) olahan. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan bisnis barang konsumsi selalu di atas 10% karena didorong maraknya bisnis ritel modern dan pasar tradisional. Keadaan itu mendongkrak pertumbuhan industri pengemasan, karena barang konsumsi kebanyakan dijual dalam bentuk kemasan. ”Saat ini saja, kebutuhan kemasan air mineral dan susu semakin tinggi,” terangnya.
Henky menambahkan bahan baku industri kemasan diperoleh dari dalam dan luar negeri. Di luar negeri, bahan baku didapat dari China, Korea dan kapasitas impor terbesar dari Timur Tengah.
”Karena pasokan bahan baku dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan produksi,” ujarnya.
IMPOR PLASTIK 40%
Sementara itu, Direktur Pengembangan Bisnis Federasi Pengemasan Indonesia Ariana Susanti mengatakan bahan baku plastik di Indonesia 40% masih impor. Oleh karena itu, melemahnya nilai tukar rupiah berdampak pada industri kemasan.
”Tadinya kami prediksi [melemahnya rupiah] enggak lama. Kenyataannya sampai akhir tahun. Kalau eksportir senang karena nilai dolar naik, mereka untung banyak,” jelas Ariana.
Ariana mengatakan kenaikan bahan baku impor tidak bisa mendongkrak harga penjualan produksi. Agar tidak merugi banyak, kata dia, pelaku industri mengurangi biaya promosi.
“Mereka membuat efisiensi di dalam dengan memilah mana kebutuhan yang mendesak atau tidak. Contohnya, biaya promosi yang direncanakan menggunakan dana besar dialihkan dengan biaya produksi,” papar dia.