Bisnis.com, JAKARTA - Pengembangan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) terganjal sistem perpajakan.
Ketua Umum DPP Apersi Anton R. Santoso (hasil Munas di Jakarta) mengatakan saat ini banyak pengembang rumah bersubsidi yang terjerat sistem perpajakan akibat tidak jelasnya pemahaman terhadap harga jual rumah bersubsidi.
Kondisi ini dikhawatirkan akan mempengaruhi proses pengembangan rumah bersubsidi nantinya.
Seperti diketahui, harga rumah bersubsidi diatur dengan batas maksimal Rp88 juta-Rp145 juta dengan tipe 21 m2-36m2, berdasarkan zonasi. Di wilayah Jabodetabek, harga yang berlaku adalah Rp95 juta/unit.
“Ada biaya lain-lain yang harus dibebankan saat membeli rumah. Akhirnya penjualan rumah bersubsidi dianggap telah melebihi batas harga yang ditetapkan pemerintah,” paparnya di sela Musyawarah Nasional Khusus Apersi, Kamis (14/11/2103).
Karena dianggap menyalahi ketentuan, pengembang dianggap lalai membayar pajak.
Biaya lain-lain tersebut merupakan biaya yang dibutuhkan untuk proses adminsitrasi dan pengajuan kredit pemilikan rumah yang dibayarkan kepada notaris, perbankan, pemerintah daerah, dan petugas agraria, dengan nilai sekitar Rp6 juta.
Untuk mengatasi masalah ini, Anton mengatakan telah mengirimi surat kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Menurutnya, definisi mengenai harga jual untuk rumah bersubsidi harus diperjelas.
Apersi mengusulkan definisi harga jual meliputi harga tanah, bangunan, serta infratruktur dan untilitas standar. (ra)