Bisnis.com, JAKARTA - PT Freeport Indonesia meminta dispensasi pemerintah agar tetap bisa melakukan ekspor mineral pada 2014, karena mereka tengah mengadakan studi kelayakan (feasibility study/FS).
Direktur Utama Freeport Rozik B. Soetjipto mengakui pembahasan dari 6 poin renegosiasi yang paling alot adalah penghiliran dan permohonan perpanjangan operasi tambang asal Amerika Serikat itu. Pihaknya baru bertemu dua kali dengan pemerintah untuk membahas renegosiasi.
"Kami sedang mengadakan FS pemurnian bijih, karena antara satu logam dan yang lain tidak bisa disamakan," katanya, Selasa (22/10/2013).
Pertemuan pertama dengan pemerintah merupakan awal atau kick off pembahasan renegosiasi. Pada pertemuan denagan beberapa pengusaha pemegang Kontrak Karya lainnya, Rozik memaparkan posisi mereka saat ini menyampaikan tanggapan.
FS yang dilakukan pihak Freeport sendiri ditargetkan selesai Januari tahun depan. Untuk kegiatan tersebut, mereka mengacu pada smelter di Gresik. Rozik menambahkan pengadaan FS yang menelan biaya US$1 juta ini dilakukan di Gresik dan Papua.
"Kami sudah mencoba menyampaikan kepada pihak ESDM melalui Wakil Menteri," tambahnya.
Freeport mengadakan kerja sama dengan dua perusahaan yaitu PT Indovasi Mineral Indonesia dan PT Indosmelt. Saat ini, imbuh Rozik, ketiga pihak sedang berunding dalam pembangunan pemurnian tembaga karena masih ada beberapa kendala. Kendala tersebut antara lain berapa harga logam yang harus dibayar lalu berapa persen pengembalian yang dibayar untuk smelter.
Sebelumnya, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo mengatakan pihaknya akan memberikan kelonggaran ekspor pada perusahaan yang berniat baik membangun smelter. Kelonggaran itu berupa ekspor dengan batas tertentu.
Mengenai larangan ekspor mineral ini, Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Bidang Indonesia Timur Didie Suswondho menambahkan pihaknya setuju jika wacana yang diutarakan oleh Wakil Menteri. Mereka mendukung hilirisasi dan pembatasan ekspor, tetapi pihak Kadin juga melihat dari segi perdagangan dan investasi.
"Untuk itu kami akan adakan pertemuan yang melibatkan seluruh stake holder. Saat ini Kadin sedang menyusun pertemuan tersebut," katanya.
Kadin saat ini menunggu kepastian pemerintah apakah akan tetap melarang ekspor. Mereka setuju dengan pemurnia yang akan dilakukan di dalam negeri.
Didi mencontohkan penilaian nilai tambah dari bauksit. Indonesia mengkespor tanah bauksit setiap tahun 45 juta ton dengan harga bauksit US$30 per ton. Jika diolah menjadi alumunium, maka nilai tambah tersebut akan dihargai US$1.800.
"Dari perhitungan itu, kelipatan keuntungannya luar biasa. Indonesia memiliki posisi strategis untuk itu, kenapa tidak?" Katanya.
Oleh karena melihat keuntungan nilai tambah tersebut, Kadin tengah mengumpulkan berbagai masukan dan kerja sama. Mereka tak hanya mengajak perusahaan besar, tetapi juga mengajak perusahaan kecil agar turut bekerja sama.