Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dan DPR sepakat untuk membahas revisi UU No. 27/2007 tentang Panas Bumi yang telah disampaikan pada 13 Agustus 2013.
Berdasarkan rapat paripurna pada September lalu, panitia kerja meminta penjelasan kepada pemerintah mengenai isi dari revisi UU panas bumi.
Revisi UU ini mengubah 6 poin yang dinilai menghambat implementasi pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi.
Meneteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengatakan revisi itu penting, karena potensi yang besar dan dapat mengatasi masalah kelistrikan.
"Salah satu hambatan dari pembangunan PLTP adalah istilah 'pertambangan'. Ini yang bertentangan dengan UU kehutanan," katanya, Senin (21/10/2013).
Dalam UU No.41/1999 tentang Kehutanan, ditetapkan pertambangan hanya dapat dilakukan di hutan produksi. Padahal, wilayah panas bumi juga mencakup hutan konservasi dan hutan lindung.
Oleh karena itu, 6 poin revisi UU antara lain pertama pengaturan pengusahaan energi panas bumi di kawasan hutan lindung dan konservasi.
Kedua adalah pengaturan kepemilikan saham. Poin ketiga menyatakan kewenangan pemerintah untuk eksplorasi dan eksploitasi diberikan penugasan kepada BUMN dan badan usaha swasta untuk meningkatkan panas bumi.
Keempat menteri berwenang untuk mencabut izin dan pembatalan izin yang diberikan oleh gubernur. Poin kelima ialah pemberian participating interest untuk memberi kesempatan pemda mengelola sumber daya panas bumi. Poin terakhir adalah ketentuan peralihan lebih tegas untuk jangka waktu pengelolaan panas bumi.
Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan Konservasi Energi ESDM Rida Mulyana mengatakan saat ini Indonesia berada di posisi ketiga di dunia. Jika PLTP Raja Basa dan PLTP Muara Laboh sudah beroperasi, maka Indonesia dapat mengalahkan kapasitas terpasang di Filipina .