Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Keberadaan "UU Khusus Jamu" Kian Mendesak

Bisnis.com, BANDUNGPelaku industri jamu nasional memandang semakin mendesak keberadaan regulasi yang bisa menjamin keberlangsungan masa depan industri jamu yang telah menjadi bagian kebudayaan bangsa Indonesia.
Ketua Gabungan Pengusaha (GP) Jamu Charles Saerang/Bisnis
Ketua Gabungan Pengusaha (GP) Jamu Charles Saerang/Bisnis

Bisnis.com, BANDUNG—Pelaku industri jamu nasional memandang semakin mendesak keberadaan regulasi yang bisa menjamin keberlangsungan masa depan industri jamu yang telah menjadi bagian kebudayaan bangsa Indonesia.

Ketua Gabungan Pengusaha (GP) Jamu Charles Saerang mengatakan dengan undang-undang yang khusus membicarakan jamu akan menjadi payung hukung dan menjaga jamu yang telah menjadi jati diri bangsa dari klaim negara lain.

"Sekarang ini sudah banyak produk asing yang sudah mulai menggunakan nama jamu, padahal bahan bakunya sudah bukan berasal dari Indonesia," katanya kepada Bisnis, di Bandung, Minggu (20/10/2013).

Menurut dia, urgensitas RUU Jamu tidak hanya perlindungan dari klaim bangsa lain melainkan upaya menjaga nasib 3 juta orang yang sudah menggantungkan hidupnya dari jamu.

Jumlah tersebut belum termasuk orang yang tidak terlibat langsung, tapi mendapatkan keuntungan dari keberadaan bisnis minuman sehat tersebut.

"Apalagi berdasarkan hasil survei sebanyak 80% orang Indonesia sudah pernah meminum jamu. Oleh karena itu, jamu sebagai produk kesehatan kita harus punya UU Jamu dan menjadi payung hukumnya," ujarnya.

Hal ini mengindikasikan besarnya pasar jamu di dalam negeri bahkan sejumlah negara lain. Jamu telah lama dikenal sebagai minuman kesehatan sehingga perlu dilestarikan dalam pemakaiannya.

Berdasarkan catatannya, jumlah pabrik jamu di dalam negeri mencapai 1.400 belum termasuk mereka yang berada di sektor hulu dan hilir. Produsen jamu kebanyakan dari Jateng sedangkan pasar terbesarnya di Jabar dengan prosentase mencapai 35%.

"Tergantung dari jenis jamunya. Kalau jamu bubuk bisa mencapai 45%. Kalau jamu kesehatan di Jabar tersebar mulai Cirebon, Indramayu, Bandung, Tasik, Ciamis hingga Cianjur. Dan daya beli pun besar," ujarnya.

Selain itu, dengan beleid tersebut diharapkan bisa mengikis praktik jamu kimia yang telah memukul industri jamu tradisional yang notabene jauh lebih aman bagi kesehatan tubuh.

"Ada tiga hal yang membuat industri jamu nasional tertekan. Pertama, jamu kimia yang masih banyak beredar sehingga potensi jamu nasional sulit berkembang," ucapnya.

Kedua, peraturan dari Badan POM yang selalu menghubungkan jamu dengan produk farmasi. Dengan demikian, jamu akan menjadi momok bagi kesehatan manusia. Dan ketiga, maraknya produk MLM yang notabene produk asing yang menggunakan nama jamu.

Registrasi produk yang dilakukan Badan POM harus dipertegas. Kalau berbicara jamu, maka bahannya harus 100% dari dalam negeri. Siapapun tidak boleh mengklaim jamu kalau bahan bakunya bukan berasal dari dalam negeri sekalipun itu produk natural.

"Produk asing yang menggunakan nama jamu kalau tidak pakai bahan asli harus ditiadakan, karena ada juga produk dari India, China, Chicago dan Amerika Selatan," ujarnya.

Charles menegaskan citra jamu selama ini dirusak oleh jamu berbahan kimia. Dampaknya banyak penjual jamu yang menyerah karena mereka tidak kuat karena terus-terusan dijadikan "ATM berjalan" oleh sejumlah oknum aparat.

Melihat hal ini, pihaknya berinisiatif untuk memberikan pendidikan kepada para penjual jamu agar mereka memiliki keahlian dalam mengolah jamu dan memiliki pengetahuan tentang jamu secara komprehensif.

"Berbeda dengan produk farmasi yang 90% bahan bakunya merupakan impor. Campuran kimia itu dari asing dan yang dari luar itu pasti mahal," ucapnya.

Meskipun mendapatkan tekanan pertumbuhan industri jamu dalam negeri tidak lebih dari 10% dari total pendapatan hingga Rp13 triliun. Adanya peningkatan pendapatan itu bukan karena jamu, melainkan kreativitas.

Pernah ada usulan Rancangan Undang-Undang Pengawasan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) oleh Ke. Akan tetapi, hal itu ditolak karena jamu disamakan dengan produk farmasi.

Produk jamu sangat berbeda dengan produk farmasi. Produk jamu, kata dia, belum tentu hanya untuk jamu yang bersifat pengobatan. Tapi cakupannya lebih dari itu, karena di jamu itu ada kosmetik, food supplement, dan spa.

”Itu semua bagian dari jamu padahal kosmetik, food supplement, dan spa itu sifatnya tidak bisa mengobati penyakit sehingga  upaya pemerintah memasukkan jamu ke dalam RUU tersebut dinilai tak sesuai dengan porsinya,” kata dia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Herdi Ardia
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper