Bisnis.com, PELALAWAN - Program Restorasi Ekosistem Riau (RER) pada lahan hutan gambut di semenanjung Kampar Riau mampu menyejahterakan masyarakat sekitar hutan dan bisa menjadi model pengelolaan hutan terintegrasi.
Restorasi Ekosistem Riau di area hutan lindung rawa gambut Semenanjung Kampar, Riau juga bisa menjadi model social forestry, yakni terciptanya upaya restorasi hutan sekaligus bertumbuhnya kesejahterakan masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
Staf ahli Menteri Kehutanan I Made Subagia Gelgel mengatakan salah satu indikator keberhasilan program restorasi ekosistem hutan adalah adanya perbaikan kesejahteraan masyarakat, selain tentunya tujuan mengembalikan kenakaragaman hayati.
“Salah satu parameter keberhasilan restorasi adalah masyarakat terlibat secara aktif untuk menjaga hutan, sehingga kondisi hutan lebih baik dan di sisi lain kesejahteraan masyarakat meningkat,” kata Made saat meninjau lokasi lahan RER di Pelalawan, Riau, Sabtu (14/9/2013).
Program restorasi digulirkan sebagai upaya mengembalikan keanekaragaman hayati pada hutan produksi. Untuk pengaturan pengelolaan kawasan hutan produksi melalui restorasi ekosistem, Kementerian Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.61/Menhut-II/2008, yang kemudian diperbarui melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.50/Menhut-II/2010 jo. Nomor P.26/Menhut-II/2012.
Inovasi pengelolaan kawasan hutan produksi telah memasuki era baru di mana memungkinkan penerapan kebijakan tidak adanya penebangan kayu di hutan alam dalam jangka waktu tertentu. Melalui penerapan restorasi ekosistem ini, diharapkan hutan alam produksi akan berfungsi kembali sebagai penyeimbang ekosistem baik biotik dan abiotik.
Program RER digarap secara bersama yang melibatkan banyak pihak, yaitu Fauna & Flora International, Bidara, APRIL dan Daemeter. PT Gemilang Cipta Nusantara, anak usaha APRIL, sebagai pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem (IUPHHK-RE) merupakan salah satu model dari program RER.
Namun demikian, Made mengakui, implementasi tidak mudah, karena pola pemberdayaan masyarakat hutan belum baku dan didisain mengikuti situasi di lapangan.
"Kita mau menyempurnakan aturan implementasinya. Makanya harus melihat kondisi di lapangan," ujarnya.
Made mencontohkan kebiasaan masyarakat mencari ikan di hutan gambut yang memanfaatkan transportasi kanal bisa dipertahankan dengan menggunakan sistem buka tutup untuk mengatur tata air.
”Ini agar kegiatan ekonomi masyarakat tidak terganggu dan restorasi gambut bisa dipertahankan,” kata Made.
Made juga mengatakan masyarakat harus diadvokasi agar memahami batasan areal yang bisa dimanfaatkan serta areal tertentu yang dilindungi secara hukum untuk kepentingan konservasi . “itu harus tegas diatur untuk meminimalisir konflik,” kata Made.
Persoalan lain adalah mengubah perilaku masyarakat agar tidak melakukan tebas, timbun, bakar karena hutan gambut rawan terbakar. Caranya dengan menetapkan hutan masyarakat , hutan desa seta pola kemitraan.
Made berpendapat, metode yang diterapkan di RER dalam memulihkan fungsi hutam cukup efektif karena melibatkan banyak. Selain itu, pembelajaran dari pengembangan kebijakannya berbasis ilmu pengetahuan.
Pernyataan senada dikemukakan, Direktur Bidara, Nashihin Hasan. Menurut Nashihin , Bidara yang bertugas mengambil bagian sebagai community resources development, bertugas untuk membantu masyarakat di kawasan RER untuk memahami tentang restorasi.
“Pemahaman masyarakat tentang hutan saat ini baru sebatas memanfaatkan hutan sebanyak mungkin untuk kepentingan ekonomi. Persepsinya harus diubah menjadi menjaga dan mengembangkan hutan.”
Menurut Nashihin, parameter keberhasilannya adalah membaiknya tingkat ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Kita akan terjunkan orang untuk datang ke setiap rumah penduduk, door to door, berbicara langsung untuk mengetahui persoalan masyarakat disana.
Ada banyak sumber materi yang bisa diberdayakan seperti madu, rotan, pembibitan. “Pada dasarnya restorasi dan operasional perusahaan harus membawa perubahan bagi masyarakat menjadi lebih baik.”