Bisnis.com, JAKARTA—Di tengah era perdagangan bebas, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menilai kebijakan pemerintah dalam mendorong kinerja perdagangan luar negeri belum disertai offensive policy dan defensive policy.
Ade Sudrajat, Ketua API mengatakan pemerintah tidak mempersiapkan kebijakan ofensif dan defensif secara baik dan benar. Dia berharap pemerintah dapat segera membuat dua kebijakan tersebut, dan disertai konsistensi yang terjaga.
“Hingga saat ini, dua kebijakan pemerintah itu belum ada, sehingga bisa dibayangkan jika perdagangan luar negeri kita terus diserang oleh barang-barang impor,” ujarnya, Senin (9/9/2013).
Dia menjelaskan pertumbuhan ekspor dalam negeri terutama dari produk garmen tergolong lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor negara-negara tetangga.
Ade mengklaim jika pertumbuhan ekspor Indonesia hanya tumbuh di kisaran 50%, sedangkan negara tetangga lainnya lebih dari 100%.
Seiring depresiasi rupiah, lanjutnya, sebagian besar pengusaha mengambil keputusan untuk menunda ekspansi usahanya. Dia menilai harga jual barang-barang impor seperti mesin-mesin produksi melonjak cukup tajam.
“Ekspansi mash belum favorable. Kemungkinan baru akan melakukan ekspansi apabila nilai tukar rupiah ada di kisaran Rp9.500 per dolar-Rp9.700 per dolar. Saat ini, kami lebih memilih bertahan terlebih dahulu,” katany.
Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik mencaat impor bahan baku atau penolong Januari-Juli 2013 secara tahunan naik 3,89% menjadi US$85,16 miliar. Persentase tersebut jauh lebih rendah dari rata-rata tahunan pada periode yang sama.
Sementara impor barang modal anjlok 17,48% menjadi US$18,87 miliar, selama Januari Juli 2013. Anjloknya impor barang modal merupakan pertama kalinya sejak 2009. (ra)