Bisnis.com, MAKASSAR--Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengusulkan pembatasan kuota subsidi bagi pelanggan listrik 900 VA ke bawah.
Terlalu murahnya harga listrik yang dibayar oleh masyarakat, katanya, menyebabkan moral hazard dengan tidak adanya efisiensi pemakaian.
Menurutnya, pentapan skema tarif tenaga listrik saat ini bersifat politis.
"Subsidi energi menjadi kontraproduktif bagi energi fosil," katanya dalam Sosialisasi tentang Subsidi dan Tarif Tenaga Listrik di Hotel Clarion, Makassar, Rabu (28/8/2013).
Skema tarif listrik itu hanya bersifat populis dengan hanya menerapkan pada pelanggan listri 1300 VA ke atas. Padahal, kata Tulus, penyakit ini pada golongan 900 VA ke bawah yang mencapai 85%.
Subsidi listrik, tambahnya, harusnya ditujukan untuk mempercepat rasio elektrifikasi.
Tulus memberikan contoh penerapan subsidi di negara lain yang menggunakan skema kuota kWh. Pelanggan kelas bawah disubsidi hanya pada batas pemakaian tertentu, jika sudah melewati maka dikenakan tarif biasa.
Pelanggan listrik yang pemakaian listriknya tinggi dianggap ekonominya mulai membaik dan mampu membayar dengan tarif tanpa subsidi.
Edison Sipahutar, Divisi Niaga PLN Pusat, yang hadir dalam acara sosialisasi itu menanggapi positif usulan YLKI. "Ini wacana yang baik dan kami sedang mengumpulkan berbagai usulan," katanya.
Usulan tersebut, katanya, bisa saja digodok dan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, keputusan akhir soal subsidi tetap di tangan dewan.
Tingkat elektrifikasi nasional saat ini masih rendah, yakni 75%. Hal itu menjadi salah satu faktor masih tingginya pertumbuhan penjualan yang mencapai 10% pada 2012.
Edison menyebut pada 2013 penjualan masih tetap tinggi sekitar 9%-10%. Selain karena tingkat elektrifikasi, penyebab demand tinggi karena sektor komersil, industri dan bisnis, berkembang pasca tsunami Jepang dan banjir di Thailand.
Selain itu, konsumsi energi kWh/kapita/tahun di Indonesia masih rendah. Data world Bank 2009 posisi Indonesia di urutan ketujuh di kawasan Asean yakni 590 Kwh per kepita per tahun, di bawah Philipina 593 kWh dan Vietnam 918 kWh.
Dari segi pelayanan, menurut International Finance Corporation World Bank, peringkat kemudahan memperoleh listrik di Indonesia naik ke 147 pada 2013 dari 158 pada 2012.
Sementara itu Kasubdit Bidang Harga dan Subsidi Listrik Kementrian ESDM Ginanjar Indra Maulana mengatakan pemerintah mtengah elakukan evaluasi biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik PLN.
Evaluasi itu berprinsip pada allowable cost dan memaksimalkan efisiensi melalui diversifikasi energi primer dan penurunan losses.
Ginanjar mengatakan pada dasarnya BPP tenaga listrik (ditambah margin) sama dengan tarif tenaga listrik (TTL) yang dibayar oleh konsumen. Namun, saat ini TTL masih di bawah BPP.
"Subsidi listrik diprioritaskan bagi konsumen tidak mampu, tarif konsumen lainnya ditetapkan sesuai BPP dan keekonomian secara bertahap," jelasnya.
Berdasarkan APBN-P 2013, BPP rata-rata saat ini adalah Rp1.198/kWh, sedangkan rerata TTL sebesar Rp813/kWh. Pemerintah menganggarkan subsidi listrik Rp87,24 triliun pada tahun ini.
Beberapa upaya menurunkan BPP oleh pemerintah antara lain diversifikasi energi pembangkit bahan bakar minyak (BBM) ke non BBM, penurunan susut jaringan (losses), dan optimalisasi pembangkit berbahan bakar gas dan batubara.