Bisnis.com, BATU - Pasar bunga mawar asal Kota Batu, Jawa Timur, hingga pekan pertama bulan puasa mengalami penurunan yang cukup tajam. Pasokan mawar ke sejumlah kota besar di Jawa dan Bali turun hingga 50%.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Mawar Kota Batu H. Sulkan mengatakan selama ini mawar dari Batu dikirim untuk memenuhi permintaan outlet atau toko bunga di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Solo, Yogjakarta, hingga Bali.
“Di mana rata-rata setiap outlet di kota-kota besar tersebut mencapai 50-100 outlet. Untuk pasar di luar Bali memasuki Ramadan sudah turun. Artinya, banyak outlet yang meminta untuk dikirim hanya 50% dari kebutuhan normal. Pengiriman akan meningkat kembali sewaktu lebaran,” kata Sulkan di Batu, Minggu (14/7/2013).
Untuk pasar di Bali sejauh ini tetap berlangsung secara penuh. Artinya pasar di Bali tidak mengenal berhenti selama Ramadan. Pasokan untuk mawar dari Batu selama bulan puasa ini terus berlangsung.
Dalam sekali pengiriman rata-rata mencapai 10.000-12.000 tangkai mawar hasil panen petani mawar yang tersebar di Kecamatan Bumiaji Kota Batu utamanya Desa Gunungsari yang selama ini dikenal sebagai sentra penghasil bunga mawar selain Sidomulyo dan Punten. Dengan harga per tangkai dari petani sebesar Rp500-Rp600.
“Dengan turunnya permintaan tersebut mawar yang kami kirim hanya 5.000-6.000 tangkai per hari. Itupun selama bulan puasa banyak tersedot untuk wilayah Bali,” jelasnya.
Pasar mawar tersebut selama ini untuk kebutuhan dekorasi di hotel maupun pesta khususnya pernikahan. Turunnya permintaan mawar selama ramadhan tersebut diakui kian melengkapi derita petani.
Pasalnya, dalam beberapa waktu terakhir produksi mawar milik petani mengalami penurunan 50%-60% akibat guyuran hujan deras yang disertai angin kencang. “Akibatnya mawar siap panen rusak dan rontok akibat hujan deras dan angin kencang tersebut,” ujarnya.
Rata-rata petani di Kota Batu memiliki lahan mawar seluas 1.000-2.500 meter. Setiap 1.000 meter lahan rata-rata ditanami mawar sebanyak 5.000-6.000 pohon. Untuk menekan tingkat kerusakan yang lebih parah maka petani harus melakukan penyemprotan lebih banyak dibandingkan saat normal. Secara otomatis menjadikan beban biaya produksi meningkat.