BISNIS.COM, JAKARTA—Implementasi panel tingkat tinggi (High Level Panel/HLP) Agenda Pembangunan Pasca-2015 perlu mewaspadai campur tangan politik yang berisiko mengganggu pencapaian sasaran pembangunan di dalamnya.
Yanuar Nugroho, Staf Ahli Kebijakan Pembangunan Unit Kerja Presiden Bidang Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan (UKP4), mengatakan rumusan yang diselesaikan dalam panel tingkat tinggi tersebut masih perlu penyesuaian dengan target pembangunan nasional yang pencapaiannya membutuhkan kebijakan yang mau tidak mau melibatkan campur tangan politik.
“Penyusunan RPJMN, kesepakatan terhadap anggaran, itu semua kan proses politik. Yang saya khawatirkan proses pengambilan keputusan politik yang berkaitan dengan pembangunan lebih banyak negosiasi politik, bukan menjawab tantangan pembangunan seperti seharusnya,” katanya seusai Diskusi Peluncuran Laporan HLP Agenda Pembangunan Pasca-2015, Selasa (18/6/2013).
Rumusan panel tingkat tinggi agenda pembangunan pasca-2015 merupakan kerangka baru kemitraan global yang telah disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Sekjen PBB Ban Ki-Moon pada akhir Mei 2013.
Dalam rumusannya, telah disepakati upaya pengentasan kemiskinan dengan mengedepankan pembangunan yang berkesinambungan, baik dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Selain itu, rumusan tersebut juga mengedepankan kemitraan global yang saling menguntungkan dan berkeadilan.
Dalam rumusan kerangka global tersebut, Presiden menginstruksikan empat hal, yaitu pertama akselerasi pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) yang berkahir pada 2015 harus diarusutamakan dengan agenda baru pasca-2015,
kedua, pikiran hasil rumusan tersebut dikomunikasikan di tingkat nasional, ketiga memperkuat kelembagaan pembangunan pada tingkat nasional dan daerah, Keempat, implementasi, pengawasan, dan evaluasi program pembangunan agar dilakukan secara efektif dan terukur.
Lebih lanjut, Yanuar menyoroti tiga hal penting terkait implementasi rumusan panel tingkat tinggi agenda pembangunan pasca-2015, yaitu pertama menghentikan secara bertahap subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien yang mendorong konsumsi yang berlebihan di tengah penurunan produksi minyak Indonesia.
“Sebelum ada kesepakatan kenaikan harga BBM bersubsidi di Indonesia, itu sudah jadi concern dunia. Dunia internasional sudah berteriak soal pengurangan subsidi bahan bakar fosil yang mendorong penggunaan yang boros dan bagaimana dampaknya ke orang miskin kalau dicabut,” paparnya.
Dia mengatakan kalangan internasional menilai subsidi BBM perlu dicabut karena tidak merepresentasikan nilai ekonomis yang sesungguhnya dari bahan bakar minyak Indonesia.
Kedua, adalah ketahanan pangan yang menjadi tanggung jawab pemerintah karena menjadi hak setiap warga negara yang harus dilindungi, dan tidak hanya bergantung pada mekanisme pasar.
Menurutnya, peran pemerintah yang utama adalah memastikan ketersediaan akses pangan bagi setiap warga negara.
Kemudian, ketiga adalah dukungan sistem perdagangan yang terbuka dan adil serta mengurangi aturan perdagangan yang merugikan sembari meningkatkan akses pasar produk negara berkembang.
“Banyak negara miskin dan berkembang tidak bisa menjual produknya di negara maju, terutama produk pertanian. Beras kita tidak bisa dijual ke Eropa karena mereka proteksi,” katanya.