BISNIS.COM, JAKARTA – Tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat berpotensi memukul kinerja perdagangan luar negeri Indonesia mengingat sebagian produk yang diekspor berasal dari bahan baku impor.
Sekretaris Jenderal Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Ahmad Ridwan mengatakan dampak negatif depresiasi rupiah tidak hanya dialami oleh importir, tetapi juga oleh eksportir yang mengandalkan bahan baku impor dalam proses produksinya.
“Produk ekspor menjadi tidak berdaya saing karena eksportir membeli bahan baku impor dengan harga yang mahal,” katanya, Selasa (11/6/2016).
Beberapa bidang industri di dalam negeri selama ini bergantung pada bahan baku impor, seperti industri alas kaki yang membutuhkan karet setengah jadi impor, sekalipun sebagian produk jadinya diekspor kembali.
Industri elektronik dan otomotif pun mengandalkan komponen impor. Demikian pula dengan industri plastik yang membutuhkan polipropilena dan polietilena impor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahan baku/penolong mendominasi hingga 77,04% dari total impor Januari-April sebesar Rp61,96 miliar, diikuti barang modal 16,65% dan barang konsumsi 6,31%.
Ridwan mengatakan sejauh ini dampak pelemahan rupiah memang belum terlihat pada aktivitas ekspor dan impor karena pelaku usaha masih merealisasikan kontrak pengiriman barang beberapa bulan lalu.
“Melihat kepadatan barang yang diekspor dan diimpor di pelabuhan, tampaknya masih normal,” ujarnya.
Namun, lanjutnya, bukan tidak mungkin aktivitas pengapalan barang akan terganggu jika depresiasi rupiah berlanjut. Pelaku usaha bisa saja mengurangi impor bahan baku yang artinya sama dengan menurunkan kapasitas produksi.
Ridwan menuturkan nilai tukar rupiah idealnya stabil di kisaran Rp9.500-Rp9.700 per US$ agar tak menganggu aktivitas impor dan ekspor. (mfm)