Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

APBN-P: Kesinambungan Fiskal dan Utang

Pemenang Nobel Ekonomi 2011, Thomas J. Sargent dalam artikelnya United States then, Europe Now menyatakan the ability to borrow today depends on expectations about future revenues.

Pemenang Nobel Ekonomi 2011, Thomas J. Sargent dalam artikelnya United States then, Europe Now menyatakan the ability to borrow today depends on expectations about future revenues.

Sargent melihat, utang pada dasarnya tidak perlu dipersoalkan, sepanjang dapat menghasil kan pendapatan (reven ues) yang cukup untuk membayar kembali utang tersebut.

Namun, dalam prakteknya banyak negara dengan mudah melakukan utang, tetapi tidak mampu menghasilkan pendapatan cukup, sehingga utangnya tak terbayarkan.

Contoh yang paling riil saat ini adalah negara-negara di Eropa. Bagaimana dengan Indonesia?

Pertanyaan ini, saya kira relevan untuk digali, terutama bila dikaitkan dengan konteks saat ini, ketika Pemerintah dan DPR sedang membahas RAPBN-(P)erubahan 2013.

Menjelang pembahasan RAPBN-P 2013, diskusi tentang kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) dan ke sinambungan eksternal (external sustanaibility) menjadi topik yang mengemuka.

Seperti telah saya tulis di Bisnis (13 Mei 2013), salah satu alat untuk mengukur kesinambungan fiskal ada lah melihat nilai keseimbangan pri mer (primary balance) dalam APBN.

Keseimbangan primer seyogyanya dijaga agar senantiasa berada dalam po sisi yang positif. Sebab, jika nilai ke seimbangan primer positif, maka posisi utang akan berkurang seiring dengan waktu.

Sebaliknya, jika nilainya negatif, dalam jangka panjang dapat menyebabkan peningkatan nilai utang secara signifikan, sehingga dapat membahayakan perekonomian.

Mengacu pada RAPBN-P 2013, ternyata rencana pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM tidak serta merta menurunkan defisit APBN, juga tidak membuat keseimbangan pri mer menjadi lebih baik.

Defisit RAPBN-P 2013 justru meningkat menjadi Rp233,7 triliun da ri sebelumnya Rp153,3 triliun (APBN 2013). Defisit keseimbangan pri mer juga meningkat menjadi Rp120,8 triliun (RAPBN-P 2013) dari sebelumnya Rp40,1 triliun.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Pertama, penerimaan negara diperkirakan turun sebesar Rp41 triliun menjadi Rp1.488 triliun. Komponen pe nurunan terbesar terjadi pada penerimaan perpajakan sebesar Rp53,6 triliun.

Kedua, kenaikan belanja negara sebesar Rp39 triliun sehingga menjadi Rp1.722 triliun. Kenaikan belanja negara terutama disumbang dari pos subsidi yang meningkat Rp41 triliun dan transfer ke daerah bertambah Rp54 triliun.

Subsidi BBM untuk tahun 2013 memang mengalami penurunan. Namun, dibandingkan dengan nilai subsidi BBM (termasuk LPG 3 kg) yang tercantum dalam APBN 2013, pada RAPBN-P 2013 mengalami ke naik an Rp16,1 triliun.

Kenaikan ini disebabkan karena ter dapat kurang bayar subsidi BBM pada 2010, 2011, dan 2012 sekitar Rp22,9 triliun yang akan dimintakan persetujuan DPR untuk dapat dibayarkan melalui APBN-P 2013.

PERUBAHAN PARAMETER

Selain itu, kenaikan pos subsidi BBM pada RAPBN-P 2013 juga disebabkan karena adanya perubahan beberapa parameter. Pertama, perubahan harga minyak mentah Indonesia (ICP).

Kedua, melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS). Ketiga, adanya penambahan kuota volume BBM bersubsidi yang diperkirakan mencapai 48 juta kiloliter dari sebelumnya 46 juta kiloliter.

Di sisi lain, subsidi listrik juga meningkat Rp19 triliun, dengan penyebab yang relatif sama dengan subsidi BBM.

Berbagai situasi inilah yang akhirnya menyebabkan kemampuan APBN 2013 berkurang. Satu hal yang patut dicatat, defisit keseimbangan primer yang terjadi pada 2012 lalu dan 2013 ini adalah pertama kalinya sejak APBN menerapkan format baru pada 2005.

Tentunya, kondisi ini cukup mem prihatinkan, karena semakin ke sini, ketahanan fiskal kita semakin berkurang. Kondisi ini dapat dipas tikan akan menyebabkan tekanan terhadap utang pemerintah menjadi meningkat.

Rasio utang pemerintah terhadap PDB memang rendah, sebesar 23,5% terhadap PDB, jauh di bawah ba tas aman 60% dari PDB. Namun, tentunya tidak cukup hanya melihat po sisi utang secara agregat.

Kita juga perlu melihat kemampuan membayar utang kita setiap tahunnya dan pengaruh dari pembayaran utang tersebut terhadap perekonomian.

Terkait dengan utang pemerintah ini, saya membuat perbandingan antara tambahan utang baru (netto) dan tambahan penerimaan perpajakan setiap tahunnya, dengan meng ambil data tahun 2009-2012.

Dari perhitungan tersebut, utang baru kita setiap tahunnya rata-rata bertambah lebih dari Rp100 triliun. Rincian penambahannya adalah Rp91 triliun (2010), Rp127 triliun
(2011), Rp166 triliun, dan diperkirakan Rp162 triliun (2013).

Sementara itu, tambahan penerimaan perpajakan setiap tahunnya rata-rata juga di atas Rp100 triliun, yaitu Rp103 triliun (2010), Rp151 tri liun (2011), Rp106 triliun (2012), dan diperkirakan Rp159 triliun (2013).

Berdasarkan data tersebut memper lihatkan bahwa semakin ke sini, selisih (delta) antara tambahan utang baru dengan tambahan penerimaan perpajakan justru semakin negatif.

Dengan kata lain, bila kita kaitkan dengan tesis Sargent di atas, kemampuan utang kita dalam menghasilkan pendapatan (revenue) untuk dipergunakan pemerintah membayar kembali utangnya kini semakin menurun.

Tentunya ini perlu pendalaman, mengapa PDB kita yang tinggi, namun pajak yang dapat ditarik masih rendah.

Persoalan utang pemerintah tidak berhenti di situ. Karena, di luar utang pemerintah, masih ada utang swasta yang juga perlu diperhitungkan.

Kita juga menghadapi tekanan akibat tingginya pembayaran utang luar negeri (ULN).

Rasio pembayaran ULN Indonesia terhadap penerimaan transaksi berjalan (debt service ratio/DSR) mengalami kenaikan tajam. DSR kita telah mencapai 34,7% pada kuartal I/2013, menurun sedikit dibandingkan dengan posisi pada 2012 sebesar 34,9%.

Namun, angka DSR ini tergolong tinggi karena batas amannya seharusnya dijaga tidak lebih dari 20%.

Penyebab tingginya DSR ini adalah karena menurunnya kemampuan ekspor kita.

Tentunya, tingginya pembayaran ULN ini membawa implikasi bagi perekonomian. Tingginya pembayaran ULN telah menyebabkan neraca pembayaran Indonesia (NPI) defisit, menekan posisi cadangan devisa dan nilai tukar Rupiah melemah.

Dengan kata lain, meski kontribusinya tidak terlalu tinggi, posisi APBN dan utang pemerintah juga ikut memperlemah nilai tukar Rupiah dan NPI kita.

Sehubungan dengan hal tersebut, saya mengusulkan beberapa hal untuk memperbaiki kondisi ini. Pertama, dalam jangka pendek, penting bagi pemerintah untuk mendorong ekspor agar angka DSR turun. APBN semestinya dapat menjadi instrumen penting untuk merevitalisa si industri-industri berbasis ekspor.

Kedua, pemerintah harus konsisten dengan kebijakan pengendalian subsidi energi, khususnya BBM. Tingginya subsidi BBM, tidak hanya menyebabkan tekanan pada APBN, tetapi juga pada nilai tukar Rupiah dan NPI.

Ketiga, pemerintah perlu menyelidiki berbagai faktor yang menyebabkan menurunnya kemampuan penerimaan perpajakan.

Bisa jadi memang, selain ekstensifikasi pajak yang perlu ditingkatkan, upaya inten sifikasi pajak terutama terhadap wajib pajak besar, dirasakan belum op timal. Saya kira, tidak ada salahnya bila Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dilibatkan dalam meneliti efek tivitas kebijakan utang dan perpajakan kita.

 

*) Penulis adalah Sunarsip, ekonom The Indonesia Economic Intellegent

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : News Editor
Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : BISNIS INDONESIA
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper