BISNIS.COM, JAKARTA--Sedikitnya enam perusahaan yang bergerak sektor perkebunan, ekstraktif dan kehutanan di Kutai Timur, Kalimantan Timur, diindikasi tumpang-tindih perizinan terkait dengan penggunaan lahan yang sama sehingga memperparah konflik dengan masyarakat adat Desa Long Bentuq di wilayah tersebut.
Hal itu disampaikan Forest Watch Indonesia (FWI) setelah melakukan penyelidikan dan analisis terhadap persoalan tumpang-tindih antar perusahaan serta konflik mereka dengan masyarakat adat.
Sedikitnya ada empat perusahaan kelapa sawit, satu perusahaan tambang batubara dan satu sektor Hutan Tanaman Industri (HTI).
Empat perusahaan itu adalah PT Hamparan Perkasa Mandiri, PT Kaltim Agro Mandiri, PT Subur Abadi Wana Agung dan PT Gemilang Sejahtera Abadi.
"Diduga terjadi praktik penerbitan izin ilegal di sekitar wilayah Long Bentuq. Kami menemukan adanya tumpang tindih izin antar perusahaan perkebunan sawit dengan perusahaan tambang batubara, serta perusahaan tambang batubara dengan perusahaan HTI, yang semuanya aktif beroperasi di lokasi yang sama," kata Muhammad Kosar, Juru Kampanye FWI, Jumat (19/4/2013).
FWI menyatakan empat perusahaan sawit tersebut tidak mendapatkan persetujuan dari warga setempat, namun penolakan masyarakat Desa Long Bentuq tidak ditanggapi oleh perusahaan dan pemerintah Kabupaten Kutai Timur.
Kosar mengatakan pembukaan hutan dan penggusuran lahan masyarakat tetap dilakukan oleh pihak perusahaan, terutama oleh perkebunan sawit.
Selain itu, dia memaparkan, sengketa lahan yang terjadi antara masyarakat Long Bentuq merupakan contoh dari sekian banyak permasalahan tenurial yang belum mampu diselesaikan pemerintah.
Praktik-praktik yang dilakukan oleh perusahaan skala besar, kata Kosar, terutama perkebunan sawit tidak hanya menimbulkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan, tetapi telah mendorong terjadinya konflik horizontal antar masyarakat.
"Riset yang dilakukan oleh Nurani Perempuan dan FWI menemukan terjadinya konflik antara masyarakat suku Dayak Modang dan suku Dayak Kenyah di Kecamatan Busang Kabupaten Kutai timur, yang dipicu oleh masuknya perusahaan sawit di wilayah tersebut," katanya.
"Kondisi ini menunjukkan lemahnya tata kelola dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, yang berimplikasi pada buruknya sistem perijinan dan sering kali meminggirkan hak-hak masyarakat adat."
FWI dan organisasi Nurani Perempuan mendesak pemerintah pusat dan daerah segera melakukan aksi nyata dengan membenahi sistem perizinan yakni melakukan audit perizinan yang tumpang tindih.
Tak hanya itu, mereka juga meminta agar pemerintah mencabut izin-izin perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat. (ra)