BISNIS.COM,JAKARTA -- Warga Teluk Bintuni, Papua Barat meminta akuntabilitas tentang dokumen hak-hak sosial dan standar lingkungan dari perusahaan minyak dan gas (migas) asal Inggris, British Petroleum (BP) terkait dengan izin operasi blok Tangguh di wilayah tersebut yang diperoleh pada akhir 2012.
Hal itu disampaikan Down to Earth (DTE), organisasi pemantau hak asasi manusia (HAM) dan bisnis, yang berbasis di Inggris. Menurut organisasi tersebut, warga Teluk Bintuni ingin agar perusahaan dan pemerintah memperhatikan kekhawatiran mereka tentang mata pencaharian dan masa depan wilayah tersebut.
"Dampak untuk mengakses ke area perikanan menjadi kekhawatiran yang serius," demikian DTE yang dikutip dalam situsnya pada Sabtu, (16/3/2013). "Ada semacam kesadaran bahwa perubahan di Teluk Bintuni adalah kekuatan yang berasal dari luar kendali mereka, dan tak menunjukkan perbaikan
hidup."
Selain itu, DTE menuturkan, masyarakat juga menyatakan ketidaktahuan mereka tentang dokumen hak-hak sosial dan lingkungan yang dimiliki oleh BP dalam proyek Tangguh tersebut. Komunitas Teluk Bintuni telah menyampaikan pendapat mereka ke perusahaan, dan menunggu apakah asprirasi mereka akan dipenuhi. DTE menyatakan pengembangan sektor migas di Papua Barat merupakan bagian dari proyek MP3EI.
"Rekomendasi forum warga kepada BP Tangguh adalah meminta perusahaan itu menilai kembali AMDAL," kata DTE. "Dari segi non-fisik menyangkut pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang akan ditangani BP, masih juga belum terpenuhi."
DTE memaparkan ekspansi BP Tangguh direncanakan beroperasi penuh pada 2018. BP adalah operator proyek migas tersebut dan memiliki saham sekitar 37,16% di dalamnya.