BISNIS.COM, JAKARTA—Aturan yang mengatur limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) saat ini dinilai kurang pas untuk sektor pertambangan karena tidak memerinci apa saja kategori sisa hasil kegiatan dan usaha berdasarkan kandungan kimia, bahan baku dan pemrosesannya.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM mengatakan rancangan peraturan pemerintah (RPP) terkait limbah B3 saat ini masih kurang pas untuk diimplementasikan.
Pasalnya, aturan tersebut langsung menyebut fly ash dan bottom ash hasil pembakaran batu bara sebagai limbah B3.
Harusnya ada kriterianya yang masuk dalam limbah B3 itu misalnya kandungan air raksanya berapa dan celeniumnya berapa. Kalau menurut hasil analisis laboratorium memenuhi kriteria itu beracun, baru disebut limbah B3.
"Jadi protokolnya benar, kriterianya juga benar,” katanya di Jakarta, Kamis (14/3/2013).
Thamrin menegaskan tidak semua bottom ash dan fly ash memiliki kandungan kimia yang sama dan dapat dikategorikan sebagai limbah B3.
Pasalnya batu bara asal Kalimantan memiliki kandungan yang berbeda dengan batu bara asal Sumatera. Belum lagi proses pembakaran di pembangkit listrik yang berbeda-beda, sehingga menghasilkan fly ash dan bottom ash yang berbeda.
Menurutnya, ada fly ash dan bottom ash yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan batu bata.
“Padahal ada yang bisa digunakan kembali. Makanya saya cenderung untuk dibuatkan kriteria secara detail, misalnya berapa batas kadar air raksa dan celenium dalam fly ash dan bottom ash yang masuk dalam kriteria B3,” jelasnya.
Hendra Sinadia, Sekretaris Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) mengatakan selama ini aturan mengenai limbah B3 menjadi kendala bagi industri. Pasalnya, UU 32/2009 mendefinisikan limbah sebagai sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
“Beberapa asosiasi profesi pertambangan dan industri mineral, serta energi telah menyampaikan kalau aturan mengenai limbah itu mendefinisikan limbah terlalu ketat. Padahal, ada beberapa sisa hasil usaha yang dapat dimanfaatkan untuk sektor lain,” katanya.
Hendra mengungkapkan selama ini aturan tersebut tidak dapat dilaksanakan di dalam negeri , baik dari sisi teknologi maupun teknisnya.
Untuk itu, pemerintah harus segera melakukan perbaikan mengenai persoalan limbah yang didefinisikan sebagai limbah B3 yang dapat diterapkan oleh industri.
Saat ini sendiri rancangan peraturan pemerintah (RPP) mengenai limbah B3 telah dikembalikan kembali kepada Kementerian Lingkungan Hidup agar dibahas dan disesuaikan dengan iklim industri di dalam negeri.
“Kami inginnya Kementerian Lingkungan Hidup melibatkan pelaku industri dalam menyusun RPP itu, sehingga bisa kami laksanakan,” jelasnya.
Menurutnya, pemerintah harus segera membuat terobosan dengan membuat aturan yang mengakomodir pertumbuhan industri mineral dan memberikan kepastian hukum.
Apalagi, saat ini juga pemerintah gencar melakukan hilirisasi sektor mineral dengan mengupayakan pengolahan dan pemurnian bijih mineral di dalam negeri.
RPP tersebut dianggap dapat mematikan industri pertambangan dan mineral karena mengkategorikan seluruh sisa dari kegiatan pertambangan sebagai limbah B3.
Pasalnya, ada beberapa sisa kegiatan pertambangan yang menjadi produk turunan mineral dan bermanfaat untuk sektor lain, seperti slang nikel, dan limbah tailing yang digunakan untuk pembuatan beton.
Sementara itu, Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo mengatakan akan mendorong penggunaan Konvensi Basel tentang pengelolaan limbah yang telah diratifikasi oleh pemerintah.
Dengan begitu, seluruh aturan yang terkait dengan pengelolaan limbah B3 harus disesuaikan dengan isi dari konvensi tersebut. (ra)