BISNIS.COM, MEDAN-- Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) memperkirakan harga minyak sawit mentah (crude palom oil/CPO) di pasar internasional sulit kembali ke level di atas US$1.000 per ton tahun ini walaupun pasok lebih rendah dari permintaan.
Ketua Umum DMSI Derom Bangun memperkirakan harga CPO di pasar internasional tahun ini paling tinggi US$940 per ton dan tidak akan mampu mencapai US$1.000 per ton karena kondisi ekonomi di Uni Eropa dan Amerika Serikat belum stabil.
“Susah untuk kembali ke angka US$1.000 per ton walaupun dari sisi permintaan lebih tinggi dibandingkan dengan pasok yang ada,” ujarnya di Medan, Selasa (12/3).
Menurut dia, harga rata-rata CPO di pasar internasional pada 2013 diperkirakan hanya US$880 per ton atau dibawah harga rata-rata 2012 lalu hanya sebesar US$900 per ton (harga cost insurance freight/CIF Rotterdam).
Perkiraan produksi CPO intenasional a.l. Indonesia diproyeksikan 28 juta ton, Malaysia 19,7 juta ton, Thailand 1,7 juta ton, Colombia 960.000 ton dan negara lain sekitar 3,3 juta ton. Jadi, lanjutnnya, total produksi CPO pada 2013 diperkirakan mencapai 54,53 juta ton.
Dari sisi permintaan, paparnya, ada peningkatan menjadi 55,25 juta ton karena pertumbuhan konsumsi di India meningkat menjadi 8,4 juta ton, Indonesia, 9,2 juta, China naik menjadi 6,7 juta ton, Uni Eropa naik menjadi 5,3 juta ton, Malaysia naik menjadi 3,8 juta ton, Pakistan naik menjadi 2,3 juta ton, sedangkan negara lain meningkat menjadi 19,6 juta ton.
Peningkatan konsumsi CPO, paparnya, terjadi di Indonesia dan India karena pebaikan ekonomi di kedua negara tersebut.
Sementara itu, Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad mengatakan perkiraan harga CPO di pasar internasional tidak sebagus tahun 2012 lalu karena kondisi ekonomi global belum pulih 100 persen.
Walaupun ada penaikan permintaan dari China, India, dan Eropa, lanjutnya, tidak cukup kuat untuk mendongkrak harga hingga mencapai US$1.000 per ton.
“Sulit memang mendongkrak atau mengembalikan harga CPO di atas US$1.000 per ton karena berbagai faktor antara lain kampanye negatif sejumlah negara maju mengenai sawit dan pemulihan ekonomi sejumlah negara Eropa berjalan lambat,” tuturnya. (if)